EL-HIDAYAH: The Column of Personal Activity

This blog [el-hidayah] contains my works. And this is my column of personal activity. Thank you blogger.com

My Photo
Name:

Hidayatullah Ismail, born on monday, 27 Muharrom 1400 H was awarded a Lc degree in faculty of ushuluddin from Islamic University of Madinah Munawwaroh, Saudi Arabiah in 2004. Before leaving home for Saudi Arabiah in 1998, I was completed my Senior Secondary School at Pondok Pesantren Dar El-Hikmah in 1998, Pekanbaru and my Junior High School in 1995. and my Elementary School at SDN No.027 Gema in 1992. The last still in Kecamatan kampar kiri hulu, my homevillage in the Province of Riau. On 10 July 1998, I Joined entry test to get schoolarship for studying at Islamic University in Madinah Nabawiah, Sauadi Arabiah, which is hold at Islamic Boording school, Gontor. In 1999, I was passed the test for getting schoolarship at Islamic University of Madinah, at the time we were 30 persons. My agenda launched and released below is dedicated to my beloved one who wants to know more about myself personally. Here, everyone are welcoming to visit all the corners of my personal blog at www.el-hidayah.blogspot.com. And then have a nice journey for reading my personal activity … … …

Tuesday, December 13, 2005

Tafsir Al Qur’an dan Urgensinya

Oleh : Hidayatullah Ismail

Ma’na Tafsir
Tafsir menurut bahasa menerangkan dan menjelaskan. Contohnya terdapat pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa surat al- Furqon ayat 33 : “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya ”.
Tafsir di sini berarti keterangan dan penjelasan.

Ia diambil dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan dan membuka. Ibnu Manzhur dalam kamusnya Lisanul ‘Arab menjelaskan ma’na al-fasru : membuka susuatu yang tertutup, dan menerangkan maksud. Dalam al bahrul muhith tafsir dapat pula berma’na “ menelanjangi “ secara mutlaq. Tsa’lab berkata: “ Engkau katakan Fassartu al fursa aku menelanjangi kuda dari ikatannya, sehingga ia keluar dari kandangnya”. Tafsir di sini kembali ke ma’na “ membuka “ seakan-akan ia membuka punggung kuda itu agar ia berlari.

Dari sini jelaslah bahwa kata tafsir digunakan dalam bahasa Arab dengan arti membuka secara indarwi, seperti dikatakan oleh Tsa’lab, dan dengan arti membuka secara ma’nawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari zohir redaksional. Arti membuka secara ma’nawi lebih luas dan lebih populer digunakan.

Sedangkan pengertian tafsir secara istilah yang paling cocok adalah apa yang di kutib oleh Suyuthy dar Zarkasyi Ia adalah “ Ilmu memahami kitab Allah Subhanahu Wa Ta’laa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Dan merupakan penjelasan ma’na-ma’na serta kesimpulan hikmah dan hukum-hukum. (lihat Al-Itqon fi Ulumil Qur’an 4/169).

Sebagian Ulama juga memberikan difinisi yang hampir sama “ Ia adalah Ilmu yang membahas tentang redaksi-ridaksi Alqur’an, dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang di kehendaki oleh Allah Subhanahu Wa Ta’laa, sesuai dengan kadar kemampuan manusia” (Lihat at-Tafsir wal mufasiruun 1/16).

Tafsir dan Takwil
Menurut sekelompok ulama’, tafsir dan takwil mempunyai ma’na yang sama, inilah yang diketahui oleh sebagian besar ulama tafsir zaman dahulu.

Namun, sebagian ulama’ ada yang mengatakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil, tafsir lebih memperhatikan lafazh lafazh, sedangkan takwil lebih memperhatikan ma’na seperti takwil mimpi.

Sebagian mereka mengatakan bahwa tafsir adalah yang berhubungan dengan riwayat, sedangkan takwil yang berhubungan dengan diroyah.

Urgensi Tafsir
Ada orang yang menanyakan apa kegunaan ilmu Tafsir itu, padalah alqur’an adalah “ Kitab yang jelas” seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’laa , mudah untuk diingat dan dipahami. “ Sesungguhnya kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapatkan pelajaran “ (ad-Dukhan: 58).

Jawabannya terdapat pada Firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa surat an- Nahl ayat 89: “ Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al-qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”

Abu Ja’far ath-Thobari menjelaskan ayat di atas mengatakan : “Kami turunkan Al-qur’an ini kepada engkau Muhammad sebagai penjelasan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, mengetahui halal dan haram, pahala dan dosa “ (lihat tafsir ath-Thobari 7/633).

Ini berarti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’laa menjelaskan dalam Al-qur’an itu pokok-pokok aqidah, kaedah-kaedah syariat, dasar-dasar akhlak, dan membimbing kepada manhaj yang lurus dalam berfikir dan beramal. Namun Al-qur’an tidak mengandung perincian masalah-masalah itu dan memberikan tugas kepada Sunnah Nabi pada waktu tertentu, jelas Syaukani dalam tafsinya.

Oleh karena itu tidak aneh jika banyak lafazh-lafazh Al-qur’an membutuhkan penjelasan dan penafsiran terutama karena ia banyak menggunakan redaksi yang ringkas yang menyatukan ma’na-ma’na yang banyak dalam lafazh yang singkat.

Al-qur’an yang kita yakini sebagai firma-firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa , merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendakin-Nya, jadi manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang di kehendaki-Nya itu, demi meraih kebahagiaan akherat, harus dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut, “uapaya-upaya memahami maksud petunjuk-petunjuk Allah tersebut, sesuai dengan kadar kemampuan manusia “ itulah yang dinamakan tafsir, karenanya sangat jelaslah urgensi tafsir.

Kebutuhan akan tafsir akan menjadi penting lagi jika disadari bahwa mamfa’at petunjuk-petunjuk Ilahi itu tidak hanya terbatas di akherat saja, petunjuk-petunjuk itupun menjadi kebahagiaan manusia di dunia ini.

Selain itu, kebutuhan akan penafsiran atas kalam Ilahi terasa sangat mendesak mengingat sifat redaksinya yang beragam, dan mengandung banyak kemungkinan arti dari; shohih, kinayah, hakekat, majas, khas, dan ‘aam, mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, apa yang difahami dari isyarat dan apa yang difahami dari ibarat, kemampuan manusia untuk memahami Alqur’an berbeda-beda, ada yang hanya bisa memahami ma’na zhohir, ada yang mampu mamahami secara dalam, dan ada yang memahami bukan ma’na yang sebenarnya.

Tujuan itu tidak akan tercapai kalau hanya mengandalkan pemahaman seseorang atau satu generasi saja.

Ibrahim ibn Umar Al-Biqo’iy – seorang ahli tafsir yang terkemuka – mengambarkan dalam kitabnya Nazham Al-Durar “saya terkadang duduk termenung, duduk berbulan-bulan, hanya untuk mengetahui hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain “.

Sementara itu Abdullah Darraz dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim menulis begini: “Ayat-ayat Al-qur’an bagaikan intan : setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat labih banyak ketimbang apa yang anda lihat.

Kemudian, Al-qur’an diturunkan berkenaan dengan sesuatu sebab dan kejadian, jika hal itu diketahui maka akan menambah pemahaman dan membantu memahami Al-qur’an dengan benar. (lihat berinteraksi dengan Al-qur’an hal 285-286).

Itulah sebabnya manusia membutuhkan ilmu tafsir sehingga mereka dapat memahami Al-qur’an dengan baik dan mengamalkannya dengan baik pula.

Allah Subhanahu Wa Ta’laa telah memerintahkan untuk mentadaburi Al-qur’an sebagai mana yang terlukis dalam surat an-Nisa’ ayat 82 : “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an? Kalau kiranya al-qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya “ dan surat Muhammad ayat 24 : “ maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ataukah hati mereka terkunci? “.

Abu ja’far ath-Thobari mengatakan bahwa dorongan Allah Subhanahu Wa Ta’laa kepada hamba-hambanya untuk mengambil Ibroh dari ayat-ayat Al-qur’an, nasehat, penjelasannya terdapat dalam firman Allak Subhanahu Wa Ta’laa berikut ini: “ Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran “ (Shad: 29)

Yang memperkuat kebutuhan terhadap ilmu tafsir adalah tejadinya kesalahan dalam memahami ayat-ayat al-qur’an dari semenjak masa kenabian hingga pada sa’at ini.

Adi bin Hatim ath-Thai memahami firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa “ Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam (al-Baqoroh 187) bahwa “benang putih” dan “benang hitam” itu diartikan dengan zhohirnya. Rasulallah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah putihnya siang dan hitamnya malam ( Hadist Muttafaqun ‘Alaih dalam al-lu’lu’ wal marjan 660)

Sebagian shohabat memahami firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa surat al-An’am ayat 82 yang berbunyi “Orang-orang yang beriman dan tidak mencapu adukkan iman mereka dengan kezholiman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Bahwa yang dimaksud dengan kata zhulm adalah kezholiman apapun terhadap diri dengan melakukan kemaksiatan. Dan siapa yang bebas dari kemaksiatan itu? Hal itu membuat para shahabat menjadi bingung, dan mereka berkata: siapa diantara kami yang tidak menzholimi dirinya? Kemudian Rasulallah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Zhulm di situ adalah Syirik dengan dalil perkata’an Lukman pada anaknya (H.R Bukhori )

“…Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezholiman yang besar” (Lukman : 13).

Oleh karena itu, marilah kita gali petunjuk-petunjuk ayat Alqur’an yang berjumlah 6.666 ayat tersebut secara komprehensif, jangan kita lewati hari-hari kita tampa mencicipi jamuan Allah itu, melalui redaksi-redaksinya yang indah dan mempesona, sarat dengan berbagai makna, tentunya dengan kembali kepada kitab-kitab tafsir para ulama yang telah dihadiakannya untuk kita.karenanya jelaslah urgensi tafsir.

Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita merenungi petuah-petuah berikut ini dan kita jadikan lecutan untuk selalu mengambil Ibroh, pelajaran dan nasehat dari Jamuan Allah tersebut (Al-qur’an), rugilah yang tidak menghadiri jamuan-Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tapi tidak menyantapnya.

Ath-Thobari meriwayatkan dari Sa’id bin jubair ia berkata: “Siapa yang membaca Al-qur’an kemudian ia tidak menafsirkannya, maka ia seperti orang yang buta atau seperti orang badui primitif” (lihat Muqaddimah tafsit ath-Thobari).

Al maududi mengatakan : “Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia ayat-ayat Al-qur’an, tidak cukup engkau membacanya empat kali sehari”

Syekh Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Rasakanlah keagungan Al-qur’an, sebelum engkau menyentuhnya dengan nalarmu”.

Kalau demikian sikap kita terhadap Jamuan Allah tersebut, maka dari saat kesaat akan terdengar atau terbaca sesuatu yang baru, kitab suci itu selalu mampu menghidangkan hal-hal yang baru, sesuai dengan perkembangan zaman dan Ilmu pengetahuan, ia akan menjawab segala tuntutan zaman dan memberikan solusi yang Top terhadap segala persoalan hidup, ia akan membuka tabir-tabir rahasianya, yang belum tersentuh oleh generasi-generasi terdahulu. Wallahu ‘Alam Bi Ash-Showab



Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).




;

0 Comments:

Post a Comment

<< Home