EL-HIDAYAH: The Column of Personal Activity

This blog [el-hidayah] contains my works. And this is my column of personal activity. Thank you blogger.com

My Photo
Name:

Hidayatullah Ismail, born on monday, 27 Muharrom 1400 H was awarded a Lc degree in faculty of ushuluddin from Islamic University of Madinah Munawwaroh, Saudi Arabiah in 2004. Before leaving home for Saudi Arabiah in 1998, I was completed my Senior Secondary School at Pondok Pesantren Dar El-Hikmah in 1998, Pekanbaru and my Junior High School in 1995. and my Elementary School at SDN No.027 Gema in 1992. The last still in Kecamatan kampar kiri hulu, my homevillage in the Province of Riau. On 10 July 1998, I Joined entry test to get schoolarship for studying at Islamic University in Madinah Nabawiah, Sauadi Arabiah, which is hold at Islamic Boording school, Gontor. In 1999, I was passed the test for getting schoolarship at Islamic University of Madinah, at the time we were 30 persons. My agenda launched and released below is dedicated to my beloved one who wants to know more about myself personally. Here, everyone are welcoming to visit all the corners of my personal blog at www.el-hidayah.blogspot.com. And then have a nice journey for reading my personal activity … … …

Tuesday, November 29, 2005

Ikatlah Ilmu Dengan Menulisnya

Oleh: Hidayatullah Ismail

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan! (Al Alaq: 1)Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis (Al Qalam: 1)

Ajaran Islam yang tersebar hingga ke penjuru dunia bermula dari negeri yang gersang, dan dikelilingi oleh gurun pasir yang panas. Sedangkan wahyu yang pertama kali turun adalah surat al-alaq ayat 1-5, yang berbunyi: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (Iqra bismirabbikalladzi khalaq). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (Khalaqal insana min alaq). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (Iqra wa rabbukal akram). Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (Alladzi allama bil qalam). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Allamal insana ma’lam ya’lam).

Pesan itu sangat jelas. Ia menyuruh kita untuk mau membaca apa yang ada di alam ini, sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Menciptakan. Kemudian, secara berturut-turut, selama 23 tahun, Al Quran turun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan seluruh isinya kepada para sahabatnya. Para sahabatnya pun membaca, menghapalkan, dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh.

Selain menghafalkan dan mempelajari Al Quran, mereka juga menghafalkan sabda-sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam , yang kemudian di kenal dengan istilah “hadits”. Di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq mulai ada usaha untuk membukukan Al Quran, berlanjut hingga masa khulafaur rasyidin sesudahnya. Dan finalnya “disahkan” pada zaman Khalifah Utsman bin Affan yang terkenal dengan sebutan mushaf utsmani. Mushaf utsmani itu disebarkan ke beberapa negara. Dan di beberapa negara itu mulai memperbanyak Al Quran berdasarkan mushaf utsmani. Penduduk yang beragama Islam mulai berlomba-lomba membaca, mempelajari, menghafalkan dan mengamalkannya. Seorang orientalis merasa kagum dengan kondisi ini, menurutnya buku yang paling banyak dibaca orang dari dulu hingga saat ini adalah Al Quranul Karim.

Setelah kaum muslimin berhasil menaklukan banyak negara, para sahabat beserta murid-muridnya tersebar di negara-negara itu; ada yang ke negeri syiria seperti Abu Darda dan Bilal, ada yang ke Persia seperti Ali, ada yang ke negeri Afrika seperti Amr bin Ash, bahkan ada yang sampai ke negeri Cina seperti Sa’ad bin Abi Waqash.

Hari demi hari berlalu. Dakwah Islam semakin gencar dilakukan. Masyarakat berduyun-duyun masuk ke dalam agama Islam. Namun, banyak sahabat Nabi yang telah wafat sedangkan pemeluk Islam semakin bertambah jumlahnya. Konsekuensi menjadi muslim sebagaimana sabda Nabi Saw adalah, diwajibkan untuk menuntut ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat. Perintah Al Quran dan Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seperti energi yang mengobarkan semangat kaum muslimin untuk senantiasa menuntut ilmu. Mereka berkelana ke berbagai penjuru negeri, bahkan ada yang rela berjalan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadits, sebagaimana yang terjadi pada seorang tabi’I masyhur bernama Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah.

Dari Al Quran dan Al Hadits berkembanglah ilmu-ilmu alat yang berupaya untuk memahami keduanya lebih utuh dan jelas, seperti: sejarah ( yang dalam Al Quran sering disebut Syajarah), Tafsir (sebagai alat bantu untuk memahami Al Quran), sastra (alat kelengkapan Al Quran untuk memahami istilah-istilah yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits), fiqh dan ushul fiqh (menyusun kembali perundang-undangan Islam (syariah) agar lebih tertib susunannya dan dapat dipergunakan untuk kemaslahatan manusia), tasawuf (yang banyak memuat inti dari ibadah dan akhlak dalam Islam), faraidh (semacam matematika untuk ilmu waris sebagaimana tertuang dalam Al Quran dan Al Hadits), dan sebagainya.

Kaum muslimin tidak hanya menerima kandungan Al Quran dan Al Hadits yang kaya makna, tetapi mereka juga mulai bersinggungan dengan karya-karya ilmu pengetahuan warisan dari ilmuwan-ilmuwan Yunani, Persia, dan India. Kaum Muslimin menganggapnya sebagai harta karun yang sangat bernilai harganya. Mereka merasa senang. Keingintahuan mereka pada sesuatu yang baru begitu besar. Penerjamahan besar-besaran pun terjadi. Laboratorium kimia pertama dalam sejarah hidup manusia didirikan oleh Jabir bin Hayyan (pada abad ke 8 M). Lembaga riset terbesar bernama Baitul Hikmah dibangun oleh Khalifah Abbasiyah, Al Makmun (pada abad ke 9 M). Hingga observatorium astronomi terkemuka (al maragha) didirikan juga.

Dari kenyataan ini, seorang filosof muslim asal Malaysia, Prof. Osman Bakar, dalam bukunya Tauhid and Sains, berkata: “Tak diragukan bahwa, secara relijius dan historis, asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber relijius semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama.”

Mereka pun Menuliskannya
Ibarat bendungan yang tidak kuat lagi menampung beban air, para Ilmuwan Islam yang sudah banyak memenuhi otaknya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, merasakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera menuliskan apa yang ada di otaknya itu. Boleh di bilang para ilmuwan itu telah mengalami apa yang disebut sebagai “ledakan informasi”. Saya sendiri mengamalkan apa yang dilakukan Ilmuwan Islam itu. Saya merasa waktu yang tepat untuk memulai menulis adalah ketika otak saya sudah dipenuhi dengan informasi dan ide-ide. Seorang ulama terkemuka, Imam Syaukani, pernah dinasihati gurunya untuk membiasakan diri menulis walaupun hanya dua baris dalam sehari. Nasihat itu ia jalankan. Dan kelak dikemudian hari Imam Syaukani menjadi ulama besar terkemuka yang menghasilkan kitab-kitab bermutu tinggi, diantaranya berjudul Nailul Authar yang berjilid-jilid tebalnyaKetika saya selesai membaca kitab Fadhail Amal karya Syaikh Maulana Muhammad Al Kandhalawi, pada bab Hikayat Para Sahabat, dengan sub bab: semangat di dalam mencari ilmu pengetahuan. Saya memperoleh gambaran yang jelas dan terang bahwa para ulama-ulama besar generasi awal senang dengan kegiatan membaca dan menulis. Sebagai contoh kita dapat melihatnya sebagai berikut: Imam Ibnul Jawzy, seorang ulama terkemuka, pernah berkata di hadapan jamaahnya: “Aku telah menulis 2000 jilid kitab dengan jari-jariku ini.” Yahya bin Mu’in, seorang ahli hadits terkemuka, pernah berkata: “Saya telah menulis 1.000.000 hadits dengan tanganku sendiri.” Ibnu Jarir Thabari, seorang ahli sejarah dan ahli tafsir terkemuka, membiasakan diri selama 40 tahun untuk menulis 40 lembar setiap hari. Setelah kematiannya, murid-muridnya menghitung apa yang ditulisnya setiap hari. Ternyata sejak beliau berusia baligh sampai meninggalnya, terhitung kurang lebih 14 lembar yang beliau tulis setiap hari.

Kitabnya mengenai sejarah manusia sangat terkenal dan dijadikan rujukan hingga berabad-abad lamanya. Ketika ia menunjukkan keinginannya untuk menulis kitab tersebut, ia bertanya kepada orang-orang: “Kalian tentu akan gembira dengan kitab mengenai sejarah seluruh alam ini.” Orang itu bertanya : “Berapa tebal buku itu? Ia berkata: “sekitar 30.000 lembar” orang-orang itu berkata: “umur kita akan habis sebelum bisa menyelesaikannya”. Ia berkata: “Innalillahi, semangat manusia telah menurun”. Setelah itu ia meringkasnya dan menulisnya dalam 3.000 lembar saja.

Subhanallah! Itulah contoh yang telah dilakukan generasi awal ulama-ulama kita. Mereka adalah mereka dan kita adalah kita. Tidakkah kita mengambil semangat yang menyala-nyala ini? Mereka telah menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai “makanan ruhani”, yang porsinya jauh lebih besar daripada makanan fisik yang hanya tiga kali sehari. Dengan banyak membaca, mereka menjadi insan tercerahkan dan pada akhirnya mendorong mereka untuk lebih banyak beramal. Dengan menulis, mereka mengikat ilmu yang sebelumnya mereka miliki dan pada akhirnya menambah ilmu dan wawasan mereka
Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).
;

0 Comments:

Post a Comment

<< Home