EL-HIDAYAH: The Column of Personal Activity

This blog [el-hidayah] contains my works. And this is my column of personal activity. Thank you blogger.com

My Photo
Name:

Hidayatullah Ismail, born on monday, 27 Muharrom 1400 H was awarded a Lc degree in faculty of ushuluddin from Islamic University of Madinah Munawwaroh, Saudi Arabiah in 2004. Before leaving home for Saudi Arabiah in 1998, I was completed my Senior Secondary School at Pondok Pesantren Dar El-Hikmah in 1998, Pekanbaru and my Junior High School in 1995. and my Elementary School at SDN No.027 Gema in 1992. The last still in Kecamatan kampar kiri hulu, my homevillage in the Province of Riau. On 10 July 1998, I Joined entry test to get schoolarship for studying at Islamic University in Madinah Nabawiah, Sauadi Arabiah, which is hold at Islamic Boording school, Gontor. In 1999, I was passed the test for getting schoolarship at Islamic University of Madinah, at the time we were 30 persons. My agenda launched and released below is dedicated to my beloved one who wants to know more about myself personally. Here, everyone are welcoming to visit all the corners of my personal blog at www.el-hidayah.blogspot.com. And then have a nice journey for reading my personal activity … … …

Tuesday, December 13, 2005

Tafsir Al Qur’an dan Urgensinya

Oleh : Hidayatullah Ismail

Ma’na Tafsir
Tafsir menurut bahasa menerangkan dan menjelaskan. Contohnya terdapat pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa surat al- Furqon ayat 33 : “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya ”.
Tafsir di sini berarti keterangan dan penjelasan.

Ia diambil dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan dan membuka. Ibnu Manzhur dalam kamusnya Lisanul ‘Arab menjelaskan ma’na al-fasru : membuka susuatu yang tertutup, dan menerangkan maksud. Dalam al bahrul muhith tafsir dapat pula berma’na “ menelanjangi “ secara mutlaq. Tsa’lab berkata: “ Engkau katakan Fassartu al fursa aku menelanjangi kuda dari ikatannya, sehingga ia keluar dari kandangnya”. Tafsir di sini kembali ke ma’na “ membuka “ seakan-akan ia membuka punggung kuda itu agar ia berlari.

Dari sini jelaslah bahwa kata tafsir digunakan dalam bahasa Arab dengan arti membuka secara indarwi, seperti dikatakan oleh Tsa’lab, dan dengan arti membuka secara ma’nawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari zohir redaksional. Arti membuka secara ma’nawi lebih luas dan lebih populer digunakan.

Sedangkan pengertian tafsir secara istilah yang paling cocok adalah apa yang di kutib oleh Suyuthy dar Zarkasyi Ia adalah “ Ilmu memahami kitab Allah Subhanahu Wa Ta’laa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Dan merupakan penjelasan ma’na-ma’na serta kesimpulan hikmah dan hukum-hukum. (lihat Al-Itqon fi Ulumil Qur’an 4/169).

Sebagian Ulama juga memberikan difinisi yang hampir sama “ Ia adalah Ilmu yang membahas tentang redaksi-ridaksi Alqur’an, dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang di kehendaki oleh Allah Subhanahu Wa Ta’laa, sesuai dengan kadar kemampuan manusia” (Lihat at-Tafsir wal mufasiruun 1/16).

Tafsir dan Takwil
Menurut sekelompok ulama’, tafsir dan takwil mempunyai ma’na yang sama, inilah yang diketahui oleh sebagian besar ulama tafsir zaman dahulu.

Namun, sebagian ulama’ ada yang mengatakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil, tafsir lebih memperhatikan lafazh lafazh, sedangkan takwil lebih memperhatikan ma’na seperti takwil mimpi.

Sebagian mereka mengatakan bahwa tafsir adalah yang berhubungan dengan riwayat, sedangkan takwil yang berhubungan dengan diroyah.

Urgensi Tafsir
Ada orang yang menanyakan apa kegunaan ilmu Tafsir itu, padalah alqur’an adalah “ Kitab yang jelas” seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’laa , mudah untuk diingat dan dipahami. “ Sesungguhnya kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapatkan pelajaran “ (ad-Dukhan: 58).

Jawabannya terdapat pada Firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa surat an- Nahl ayat 89: “ Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al-qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”

Abu Ja’far ath-Thobari menjelaskan ayat di atas mengatakan : “Kami turunkan Al-qur’an ini kepada engkau Muhammad sebagai penjelasan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, mengetahui halal dan haram, pahala dan dosa “ (lihat tafsir ath-Thobari 7/633).

Ini berarti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’laa menjelaskan dalam Al-qur’an itu pokok-pokok aqidah, kaedah-kaedah syariat, dasar-dasar akhlak, dan membimbing kepada manhaj yang lurus dalam berfikir dan beramal. Namun Al-qur’an tidak mengandung perincian masalah-masalah itu dan memberikan tugas kepada Sunnah Nabi pada waktu tertentu, jelas Syaukani dalam tafsinya.

Oleh karena itu tidak aneh jika banyak lafazh-lafazh Al-qur’an membutuhkan penjelasan dan penafsiran terutama karena ia banyak menggunakan redaksi yang ringkas yang menyatukan ma’na-ma’na yang banyak dalam lafazh yang singkat.

Al-qur’an yang kita yakini sebagai firma-firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa , merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendakin-Nya, jadi manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang di kehendaki-Nya itu, demi meraih kebahagiaan akherat, harus dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut, “uapaya-upaya memahami maksud petunjuk-petunjuk Allah tersebut, sesuai dengan kadar kemampuan manusia “ itulah yang dinamakan tafsir, karenanya sangat jelaslah urgensi tafsir.

Kebutuhan akan tafsir akan menjadi penting lagi jika disadari bahwa mamfa’at petunjuk-petunjuk Ilahi itu tidak hanya terbatas di akherat saja, petunjuk-petunjuk itupun menjadi kebahagiaan manusia di dunia ini.

Selain itu, kebutuhan akan penafsiran atas kalam Ilahi terasa sangat mendesak mengingat sifat redaksinya yang beragam, dan mengandung banyak kemungkinan arti dari; shohih, kinayah, hakekat, majas, khas, dan ‘aam, mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, apa yang difahami dari isyarat dan apa yang difahami dari ibarat, kemampuan manusia untuk memahami Alqur’an berbeda-beda, ada yang hanya bisa memahami ma’na zhohir, ada yang mampu mamahami secara dalam, dan ada yang memahami bukan ma’na yang sebenarnya.

Tujuan itu tidak akan tercapai kalau hanya mengandalkan pemahaman seseorang atau satu generasi saja.

Ibrahim ibn Umar Al-Biqo’iy – seorang ahli tafsir yang terkemuka – mengambarkan dalam kitabnya Nazham Al-Durar “saya terkadang duduk termenung, duduk berbulan-bulan, hanya untuk mengetahui hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain “.

Sementara itu Abdullah Darraz dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim menulis begini: “Ayat-ayat Al-qur’an bagaikan intan : setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat labih banyak ketimbang apa yang anda lihat.

Kemudian, Al-qur’an diturunkan berkenaan dengan sesuatu sebab dan kejadian, jika hal itu diketahui maka akan menambah pemahaman dan membantu memahami Al-qur’an dengan benar. (lihat berinteraksi dengan Al-qur’an hal 285-286).

Itulah sebabnya manusia membutuhkan ilmu tafsir sehingga mereka dapat memahami Al-qur’an dengan baik dan mengamalkannya dengan baik pula.

Allah Subhanahu Wa Ta’laa telah memerintahkan untuk mentadaburi Al-qur’an sebagai mana yang terlukis dalam surat an-Nisa’ ayat 82 : “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an? Kalau kiranya al-qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya “ dan surat Muhammad ayat 24 : “ maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ataukah hati mereka terkunci? “.

Abu ja’far ath-Thobari mengatakan bahwa dorongan Allah Subhanahu Wa Ta’laa kepada hamba-hambanya untuk mengambil Ibroh dari ayat-ayat Al-qur’an, nasehat, penjelasannya terdapat dalam firman Allak Subhanahu Wa Ta’laa berikut ini: “ Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran “ (Shad: 29)

Yang memperkuat kebutuhan terhadap ilmu tafsir adalah tejadinya kesalahan dalam memahami ayat-ayat al-qur’an dari semenjak masa kenabian hingga pada sa’at ini.

Adi bin Hatim ath-Thai memahami firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa “ Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam (al-Baqoroh 187) bahwa “benang putih” dan “benang hitam” itu diartikan dengan zhohirnya. Rasulallah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah putihnya siang dan hitamnya malam ( Hadist Muttafaqun ‘Alaih dalam al-lu’lu’ wal marjan 660)

Sebagian shohabat memahami firman Allah Subhanahu Wa Ta’laa surat al-An’am ayat 82 yang berbunyi “Orang-orang yang beriman dan tidak mencapu adukkan iman mereka dengan kezholiman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Bahwa yang dimaksud dengan kata zhulm adalah kezholiman apapun terhadap diri dengan melakukan kemaksiatan. Dan siapa yang bebas dari kemaksiatan itu? Hal itu membuat para shahabat menjadi bingung, dan mereka berkata: siapa diantara kami yang tidak menzholimi dirinya? Kemudian Rasulallah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Zhulm di situ adalah Syirik dengan dalil perkata’an Lukman pada anaknya (H.R Bukhori )

“…Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezholiman yang besar” (Lukman : 13).

Oleh karena itu, marilah kita gali petunjuk-petunjuk ayat Alqur’an yang berjumlah 6.666 ayat tersebut secara komprehensif, jangan kita lewati hari-hari kita tampa mencicipi jamuan Allah itu, melalui redaksi-redaksinya yang indah dan mempesona, sarat dengan berbagai makna, tentunya dengan kembali kepada kitab-kitab tafsir para ulama yang telah dihadiakannya untuk kita.karenanya jelaslah urgensi tafsir.

Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita merenungi petuah-petuah berikut ini dan kita jadikan lecutan untuk selalu mengambil Ibroh, pelajaran dan nasehat dari Jamuan Allah tersebut (Al-qur’an), rugilah yang tidak menghadiri jamuan-Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tapi tidak menyantapnya.

Ath-Thobari meriwayatkan dari Sa’id bin jubair ia berkata: “Siapa yang membaca Al-qur’an kemudian ia tidak menafsirkannya, maka ia seperti orang yang buta atau seperti orang badui primitif” (lihat Muqaddimah tafsit ath-Thobari).

Al maududi mengatakan : “Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia ayat-ayat Al-qur’an, tidak cukup engkau membacanya empat kali sehari”

Syekh Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Rasakanlah keagungan Al-qur’an, sebelum engkau menyentuhnya dengan nalarmu”.

Kalau demikian sikap kita terhadap Jamuan Allah tersebut, maka dari saat kesaat akan terdengar atau terbaca sesuatu yang baru, kitab suci itu selalu mampu menghidangkan hal-hal yang baru, sesuai dengan perkembangan zaman dan Ilmu pengetahuan, ia akan menjawab segala tuntutan zaman dan memberikan solusi yang Top terhadap segala persoalan hidup, ia akan membuka tabir-tabir rahasianya, yang belum tersentuh oleh generasi-generasi terdahulu. Wallahu ‘Alam Bi Ash-Showab



Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).




;

Thursday, December 08, 2005

Haji dan Pengamalan Nilai-Nilai Kemanusiaan Universal

Oleh : Hidayatullah Ismail


Ibadah haji adalah Ibadah yang wajibnya hanya sekali bagi seorang muslim dan muslimah yang memiliki kemampuan, diwajibkan sejak akhir tahun kesembilan hijriah, sebagai dasarnya firman Allah Subahanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran ayat 97. “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi mereka yang sanggup melakukan perjalan ke Baitullah”. Dan hadist Nabi Sholallahu alaihi Wa Sallam “ Haji wajib hanya sekali, siapa yang haji lebih satu kali maka itu haji sunnah”.(HR. Ahmad dan ad-Daruqutni)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan: “ Sudah kesepakatan Para ulama bahwa haji wajib atas Mukallaf hanya sekali dalam kehidupan berdasarkan Nash dan Ijma’. (lihat tafsir Ibnu Katsir 1/507).

Walaupun demikian, sudah menjadi tradisi dalam masyarakat yang mendorong seseorang untuk melakukan ibadah haji lebih dari satu kali, hal itu membuktikan betapa besar kerinduan mereka tarhadap Baitullah (rumah Allah) yang berda di Makkah, dan betapa besar manfa’at dan kesan yang mereka rasakan dari pelaksana’an ibadah haji. orang yang melaksanakan ibada haji lebih dari satu kali, maka kesan yang ia rasakan berbeda dengan orang yang berhaji satu kali, maka tidak heran kalau orang yang telah berhaji satu kali, harapannya bisa haji dua kali, orang yang berhaji dua kali, harapannya bisa haji tiga kali, bahkan setelah pulang haji lebih giat berusaha untuk bisa haji keempatkalinya, serta memberikan sugesti kepada keluarganya yang belum berangkat haji, lewat cerita-cerita yang indah dan kesan-kesan manis mereka sejak keberangkatan sampai pulang ketanah air.

Al-Quran surat Al Hajj ayat 28 telah menjanjikan hikmah dari ibadah haji itu yaitu “ Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah di tentukan”. Menarik untuk diamati, dari segi gramatikal bahasa arab, Al Qur’an memakai bentuk plural “ jama’ ” pada kata “ Manafi’ “ yang berarti bermacam-macam manfa’at, tidak memakai kata parsial “ Mufrad ” yang berarti hanya satu manfa’at.

Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil ‘Azim mengutip perkataan Ibnu Abbas dalam menjelaskan ma’na ayat di atas mengatakan: “ Yaitu berbagai macam manfa’at dunia dan akherat, adapun manfa’at akherat mereka mendapatkan Ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapun manfa’at dunia ialah manfa’at jasmani, daging-daging hewan yang mereka sembelih, dan perdagangan. (lihat tafsir ibnu katsir 3/291). Dan manfa’at Ibadah serta ampunan, tulis Syaukani dalam Fathulqodir (lihat 3/642).

Ibadah haji yang dikumandangkan Nabi Ibrohim Alaissalam , sekitar 3.600 tahun yang lalu, kemudian diluruskan dan dilanjutkan oleh Nabi Muhammad Sholallahu alaihi Wa Sallam sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusiaan, Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya, Ia bermula dari kesadaan akan fitrah (jati diri)-nya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.

Kemanusiaan mengantarkan putra-putri Adam untuk menyadari arah serta perjuangan yang dituju, kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan, kemanusiaan mengantarkan untuk sadar bahwa ia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna di atas dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dalam acara-acara ritual atau dalam tuntunan nonritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dan dalam bentuk nyata dan simbolik. Kesemuanya itu pada akhirnya mengantarkan jemaah haji hidup dengan pengalaman dan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Berikut ini akan dikemukakan secara sepintas beberapa hal yang berkaitan dengannya:

1Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihrom. Pakaian menurut kenyataanya juga menurut Al Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok lainnya, pembedaan tersebut dapat membawa kepada perbedaan status sosial, ekonomi, atau profesi, pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya.

Di Mikot Makany, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan, semua harus memakai pakaian yang sama , pengaruh-pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian pun harus ditanggalkan, apa pun ras dan sukumu harus dilepaskan sehingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persama’an, lepaskan semua pakaian sehari-hari baik sebagai [a] serigala (yang melambangkan kekejaman). [b] tikus (yang melambangkan kelicikan). [c] anjing (yang melambangkan tipu daya) [d] domba (yang melambangkan pengahambaan). Tinggalkan semua itu di miqot dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya. Jelas Ali Syari’ati dalam haji.

Di Miqot, dengan menggunakan dua helai pakaian berwarnah putih-putih sebagai mana yang akan membalut tubuh kita ketika mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seseorang yang melaksanakan haji seharusnya sadar akan kelemahan dan kekurangannya, semua apa yang di karuniakan Allah Subahanahu Wa Ta’ala kepadanya hanyalah titipan sementara, semua milik Allah yang harus kita pertanggung jawabkan di hadapannya, harta yang melimpah ruah, kedudukan yang tinggi yang dititipkan tidak identik dangan kebahagiaan kalau tidak hati–hati, dan tidak identik dengan kemuliaan kalau tidak amanah.

Maka dari itu janganlah merasa congkah dan sombong karena hal itu akan berakibat di haramkannya masuk surga sebagai mana yang jelaskan Nabi Sholallahu Aliahi Wasallam, dan tiada perbedaan seseorang dengan yang lain kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.

2.Ketika kain Ihrom dikenakan dan niat ibadah telah terucapakan, maka sejumlah larangan harus diindahakan oleh pelaku ibadah haji, jangan sakiti binatang, jangan membunuh, jangan bertengkar, jangan berkata-kata kotor dan jangan berbuat keji, semua anggota tubuh dituntut khusyu’ dan tunduk dibawa pengawasan sang Kholiq, ini memberikan pelajaran bahwa manusia berfungsi memelihara makhlu-makhluk Tuhan, serta memberi kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaanya. M. Quraish Shihab menegaskan, harus diingat bahwa kekholifahan mengandung arti” bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaanya”.

Dalam pandangan agama sesorang tidak dibenarkan memetik buah sebelum matang, dan bunga sebelum mekar, karena hal itu berarti tidak memberikan kesempatan kepada makhluk ini untuk mencapai tujuan penciptaanya.

3.Thawaf yang dilakukan dengan mengelilingi ka’bah berjumlah tujuh kali putaran dengan posisi ka’bah sebalah kiri kita, yang dimulai dari titik hajar aswad dan diakhiri padanya, memberikan pelajaran dan Ibroh berharga kepada kita bahwa dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan tantangan dan ujian ini, jangan sekali-kali melawan Arus perintah dan larangan yang telah ditetepkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan Rosul-Nya, kita harus berjalan di atas Rool of the games-Nya. Dan kita harus sadar bahwa kita memiliki hak dan kewajiban terhadap Allah dan Rosul-Nya, maka kalau sudah kita tunaikan sesuai dengan janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala balasannya sesuai dengan hasil perbuatan. Dan Allah sekali-kali tidak akan menyamakan orang-orang yang baik dengan orang-orang yang buruk.(lihar sura Al Qolam ayat 35)

Data sejarah telah membuktikan bagai mana Fir’aun yang gagah perkasa memiliki kedudukan, pangakat dan jabatan hina diakhir hayatnya lantaran melawan Arus Ilahi, bagai mana dengan Qorun yang kaya raya mendapat murka dari yang Maha Kaya, lantaran tidak syukur nikmat dan tidak amanah terhadap karunia yang dititipkan, bagai mana dengan kaum Tsamud yang telah mendustakan hari kiamat mereka telah dibinasakan dengan petir yang amat keres, bagai mana dengan kaum ‘Aad mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang lantaran mendustakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bagai mana dengan kaum luth yang telah melakukan Fahisyah (mendatangi lelaki untuk melepas nafsunya) mereke telah dibinasakan dengan hujan batu.

Begitu sebaliknya Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabadikan pula sejarah hamba-Nya yang sholeh dan ta’at, di dekat Ka’bah ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya “ Pangkuan Ismail “ ada Maqom Ibrohim Yang arti harfiahnya “ Tempat berpijak Ibrohim “ di sanalah Ismail Alaissalam, putra Ibrohim Alaissalam pembangun ka’bah ini, pernah dalam pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, namun demikian , peninggalannya diabadikan untuk menjadi pelajaran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kedudukan seseorang bukan karena keturunan dan status sosialnya, tatapi kerana kedekatannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan usahanya untuk berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

4. Setelah melakukan Thawaf yang menjadikan pelakunya bercampurbaur bersama manusia lain, memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dilakukanlah Sa’i.

Disini muncul lagi Hajar, budak wanita bersahaja yang disunting Nabi Ibrohim Alaissalam. diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya.

Hajar memulai usahanya dari bukit Shofa yang arti harfiahnya adalah “ kesucian dan ketegaran” sebagai lambang bahwa untuk mencapai hidup harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran dan harus diakhiri di marwa yang berarti “sikap menghargai, bermurah hati, memaafkan orang lain” adakah ma’na yang lebih agung berkaitan dengan pegamalan nilai-nilai kemanusiaan dalam mencari kehidupan duniawi melebihi ma’na-ma’na yang di gambarkan di atas?

Dengan Thawaf disadarilah tujuan hidup manusia, setelah kesadaran itu mulailah Sa’i yang melambangkan bahwa tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin, hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun anugrah Ilahi, seperti yang dialami oleh hajar bersama putranya Ismil, dengan ditemukannya air zam-zam itu, namun perlu di catat bahwa “mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu baru datang setelah upaya maksimal manusia”, seru Quraish Shihab (lihat membumikan Al-quran hal 335).

5. Wukuf di ‘Arofah, pada tanggal 9 zdulhijjah sampai terbenamnya matahari, merupaka mu’tamar akbar tahunan umat islam, di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta disana pulalah mereka menyadari langkah-langkah mereka selama ini, di sanalah mereka seharusnya menyadari betapa besarnya keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadanya bersembah seluruh makhluk.

Padang ‘Arofah merupakan miniatur padang mahsyar, di mana pada hari itu semua makhluk akan dikumpulkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk dihisab segala amal perbuatannya, di situ akan jelaslah apakah dia termasuk ashabul Yamin (golongan kanan) atau ashabul Syimal (golongan kiri), masing-masing golongan telah di sediakan tempat bagi mereka, sebagai mana yang telah dilukiskan Surat Al-Waqi’ah ayat 27-74.

Dari ‘Arofah, para jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabit dan mengumpulkan tujuh butir batu yang akan dilempar pagi 10 zdulhijjah, ini mengambarkan bahwa kita harus mempersiapkan segala kemampuan untuk menghadapi musuh, dan batu yang dikumpulkan tengah malam sebagai lambang bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita.

Setelah fajar 10 zdulhijjah menyinsing, para jemaah haji melanjutkan perjalanan ke Mina, di sanalah mereka melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.

6. Ibadah Qurban yang dipelopori oleh Nabi Ibrohim Alaissalam, di mana putranya Ismail Alaissalam diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk dikorbankan,sebagai pertanda bahwa apa pun – bila panggilan telah tiba – wajar untuk dikorbankan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya kepada manusia, maka praktek pengorbanan semacam itu tidak di perkenankan.

Ibrohim Alaissalam, menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengamalan-pengamalan keruhanian yang dilaluinya dalam hal ini terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagai mana yang di uraikan oleh surat Al an’am ayat 75,tetapi juga tentang hari kebangkitan.

Demikianlah sebagian kecil dari keistimewaan Nabi Ibrohim Alaissalam, sehingga wajar jika beliau di jadikan teladan untuk seluru manusia, seperti yang ditegaskan oleh Al-quran surat Al-baqoroh ayat 127. keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk Ibadah Haji dengan berkunjung ke Makkah, karena beliau dan anaknyalah yang membangun kembali fondasi-fondasi Ka’bah (QS 2:127) dan beliau pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syariat haji (QS 22:27)

Akhirnya ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah. Apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, pasti akan mengantarkan pelakunya ke dalam lingkungan Ilahi dan kemanusiaan yang benar sebagai mana dikehendaki oleh pinciptanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bish-showab.

Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).

;

Sunday, December 04, 2005

Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Shahabat

Oleh: Hidayatullah Ismail,Lc

Beberapa shahabat dikenal sebagai ahli tafsir, sebagaimana yang disebutkan as-Suyuthy dalam al-Itqon adalah empat khalifah Islam; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Aly, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin sabit, Abu musa Al’asy’ari, Abdullah bin zubair.

Hanya saja riwayat mengenai tiga orang pertama (selain ‘Aly) tidaklah terlalu banyak karena kesibukan mereka mengurusi pemerintahan (kekhalifahan), di samping masih belum diperlukan adanya riwayat mengenai hal itu karena begitu banyaknya kalangan para shahabat yang memahami tafsir, sedangakan Aly bin Abi Tholib adalah kholifah yang paling banyak meriwayatkan tafsir karena beliau tidak sibuk mengurusi pemerintahan (kekhilafahan) dalam kurun waktu yang panjang, sehingga akhir masa pemerintahan Usman, dan karena beliau memeliki umur yang panjang dan menghadapi suatu masa dimana masyarakat membutuhkan orang yang menafsirkan Ayat-ayat Alquran, disebabkan oleh meluasnya negara islam dan masuknya orang-orang asing dalam agama Islam.

Di antara kalangan para shahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir juga adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas. ‘Abdullah bin Mas’ud dan Ubai bin Ka’ab, karena kuatnya bahasa mereka, menguasai uslub-uslub bahasa arab dengan baik,dan mulazamah Nabi SWA sehingga mereka tahu kejadian-kejadian (Asbab nuzul) dari setiap ayat yang turun, hanya saja Ibnu Abbas tidak mulazamah Nabi SAW ketika syababnya, karena Nabi SAW meninggal dunia ketika dia berumur 13 tahun, akan tetapi beliau mulazamah para sahabat mengambil dan meriwayatkan tafsir dari mereka.

Berikut riwayat hidup singkat ‘Aly Bin Abi Tholib, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Ubai Bin Ka’ab.

1. ‘ALY BIN ABI THALIB RA
Beliau adalah anak paman Rasulullah SAW (sepupunya) dan suami dari anaknya, Fathimah, alias menantunya serta orang yang pertama-tama beriman dengannya dari kalangan keluarga dekatnya,ia salah satu dari sepuluh yang di janjikan masuk surga, ikut hijroh kemadinah, kholifah pertama dari bani hasyim, urutan keempat dari kholifah rosyidin, memiliki keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya, wara’ dalam urusan agama, zuhud dalam urusan dunia. Ia lebih dikenal dengan nama ini sedangkan Kun-yah (sapaan) nya adalah Abu al-Hasan dan Abu Turab.

Dilahirkan sepuluh tahun sebelum diutusnya Nabi SAW sebagai Nabi, tergambleng di sisi Nabi SAW, mengikuti semua peperangan Rasulullah SAW dan pemegang panji di sebagian besarnya Rosulullah berkata di perang khaibar: “akan saya berikan bendera perjanjian pada leleki yang mencitai Allah dan Rosulnya, dan di cintai Allah dan Rosulnya kemudian dia berikan pada Aly”. serta tidak pernah mangkir kecuali pada perang Tabuk karena diminta Nabi tinggal untuk menjaga keluarga beliau. Ketika itu, beliau SAW berkata kepadanya, “Tidakkah engkau rela kedudukanmu bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”

Manaaqib (sisi positif dari kehidupan seseorang)

keutamaannya banyak sekali diriwayatkan, tidak seperti para shahabat lainnya. Ditanganya-lah dua kelompok berhasil dihancurkan, yaitu: pertama kelompok an-Nawaashib yang menancapkan permusuhan terhadapnya dan berusaha meyembunyikan sama sekali sisi positif dari kehidupannya. Kedua, Kaum Rafidlah (Syiah Ekstrem) yang berlebih-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya dan membikin-bikin saja sisi positif kehidupannya yang tidak semestinya bahkan bila direnungi, malah banyak cacatnya (tidak benar).

Beliau RA terkenal sebagai seorang yang pemberani dan pintar, berilmu dan berhati suci, faseh lisan serta pandai berkhotbah dan mahir dalam syi’ir, sering jadi rujukan para sahabat, pernah diutus Nabi untuk menyelesaikan perkara di yaman dan mendokannaya: “Ya Allah kuatakanlah lisannya dan limpahkan hidayahmu pada hatinya” Maka, tidak heran bilamana ‘Umar bin al-Khaththab RA berharap agar jangan sampai bila menghadapi suatu rintangan tanpa keberadaan Abu Hasan. Para Ahli Nahwu mengungkapkannya dengan istilah, “Masalah yang tanpa Abu Hasannya.” (alias menunjukkan betapa penting perannya-red.,)

Ia salah seorang dari anggota dewan syuro yang dinominasikan ‘Umar guna menunjuk khalifah. ‘Abdurrahman menawarkan jabatan itu kepadanya namun ia menolaknya kecuali dengan syarat-syarat yang sebagiannya tidak dapat diterimanya, kemudian dia (‘Abdurrahman bin ‘Auf) membai’at ‘Utsman, kemudian ‘Ali dan orang-orang pun membai’atnya. Setelah ‘Utsman, ia dibai’at untuk menjabat sebagai khalifah hingga terbunuh sebagai syahid di Kufah pada malam 17 Ramadlan tahun 40 H.


Kedudukan dalam Tafsir

Ibn ‘Abbas RA berkata, “Bila ada riwayat dari periwayat Tsabat (yang dapat dipercaya) yang meriwayatkan dari ‘Aly, maka kami tidak akan mengambil yang lainnya.”

Diriwayatkan juga darinya (Ibn ‘Abbas) bahwasanya dia berkata, “
Apa yang aku ambil dari tafsir Qur’an, maka pastilah ia dari ‘Aly bin Abi Thalib”.

Abu Nua'im meriwayatkan dalam Hilyah, Aly Bin Abi Tholib berkata:
demi Allah tidak satu ayatpun yang turun kecuali aku tahu pada siapa ia turunkan dan di mana ia di turunkan.

Abu Thufail meriwayatkan dari ‘Aly RA, bahwasanya dia pernah berkata:“
Tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku tentang Kitabullah. Demi Allah, tidak satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah diturunkan pada malam atau siang hari, di tanah yang datar atau dipegunungan ”

Ibnu Mas’ud meriwayatkan: “
Alquran di turunkan atas tujuh huruf, setiap huruf memiliki makna zohir dan batin, dan Aly Bin bi Tholib memahami kedua ma’nanya”.

Riwayat Tafsir

Banyak riwayat tafsir dari Aly Bin Ali Tholib RA, setelah dilakukan penelitian para ulama (membedakan antara yang benar dan cacat-red), maka jumlah riwayat yang Shoheh jika di bandingkan dengan riwayat yang di nisbatkan padanya sangat sedikit, hal itu di karenakan sikap syiah ekstrim yang berlebi-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya, memberikan pujian padanya, dan mengada-ngada sisi positif kehidupannya yang tidak semestinya bahkan bila direnungi, malah banyak cacatnya (tidak benar), atau untuk mempromosikan mazhab mereka, dan kerusakan pemikiran mereka.

Para ulama tidak menerima riwayat yang di nisbatkan pada Aly Bin Abi Tholib kecuali dari perawi yang siqoh (terpecaya) dari keluarganya atau dari Ashab Ibnu Mas’ud, berikut riwayat yang benar dari Aly Bin Aly Abi Tholib:

A. Dari Hisyam, Muhamad Ibn Sirin, Ubaidah Assalmani, Aly (diriwayatkan Bukhori dan yang lainnya)
B. Dari Ibnu Abil Husain, Abi Thufail, Aly (diriwayatkan Ibnu Uyainah dalam tafsirnya)
C. Dari Zuhri, Aly Zainal Abidin, bapaknya Husain dan bapaknya Aly.

2. ‘ABDULLAH BIN MAS’UD RA

Beliau adalah ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzaly sedangkan ibunya Ummu ‘Abd yang terkadang nasab beliau dinisbatkan kepadanya*.

Ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang masuk Islam terdahulu, berhijrah dua kali, mengalami sholat kedua kiblat dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya.

Ia mengambil al-Qur’an dari Nabi SAW sebanyak tujuh puluh-an surat. Pada permulaan Islam, Nabi SAW pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah si anak yang (berpredikat) pengajar.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an dalam kondisi masih segar sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai bacaan Ibn Ummu ‘Abd.”(Sunan Ibnu Majah)

Di dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Mas’ud RA berkata, “Para shahabat Rasulullah SAW telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mengetahui mengenai Kitabullah di kalangan mereka.” Dalam momen yang lain, ia berkata, “Demi Allah Yang Tiada Tuhan –yang berhak disembah- selain-Nya, tidaklah satu surat pun dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui di mana ia diturunkan dan tidaklah satu ayat dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui pada siapa ia turun. Andaikatan aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai Kitabullah di mana untuk mencapainya harus menggunakan onta (kendaraan), maka pasti aku akan berangkat ke sana.”

Ia termasuk Orang yang mengabdi kepada Nabi SAW, yang memasangkan kedua sandalnya, mengambilkan air untuk wudlunya dan mengambilkan bantal untuk tidurnya. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Saat aku datang bersama saudaraku dari Yaman, kami tinggal beberapa waktu. Dalam masa itu, kami hanya melihat ‘Abdullah sebagai seorang Ahli Bait Nabi SAW karena kami melihat betapa seringnya ia dan ibunya menemui Nabi SAW. Dan karena ‘nyantri’nya yang begitu lama dengan Nabi SAW, ia begitu terpengaruh dengannya dan dengan petunjuknya hingga Hudzaifah berkata mengenainya, “Aku tidak mengenal seorang pun yang lebih dekat petunjuk dan sifatnya dengan Nabi SAW selain Ibn Ummu ‘Abd (Ibn Mas’ud).”

Kemudian ‘Utsman mengangkatnya jadi Amir di Kufah, lalu mencopotnya dan memeritahkannya agar kembali ke Madinah. Di Madinah lah beliau (‘Aly) wafat (dibunuh oleh Ibn Muljam, orang persia-red.,), tepatnya pada tahun 32 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’ dalam usia 70-an tahun.

Manaqib

Beliau termasuk sahabat yang paling hafal dan mahir alquran, maka rusullulah sangat senang mendengarkan Alquran darinya, dia meriwayatkan suatu ketika Rosulullah SAW memintakku membacakan surat annisa’ padanya, dan aku mengatakan: bagai mana saya bacakan alquran padamu sedangkan ia diturunkan padamu. Nabi menjawab: saya senang mendengar Alquran dari bacaan orang lain. Kemudian saya bacakan hingga ayat 41 dan bergelinang air matanya.

Ia pernah diutus ‘Umar bin al-Khaththab ke Kufah untuk mengajarkan urusan agama kepada penduduknya dan mengutus ‘Ammar bin Yasir sebagai Amirnya. ‘Umar mengomentari, “Sesungguhnya keduanya termasuk orang-orang cerdas di kalangan shahabat Nabi SAW, karena itu ikutilah mereka.”

Masruq mengatakan:
puncak ilmu sahabat pada enam orang: Umar Bin Khottab, Aly Bin Abi Tholib, Abdulah Ibnu Mas’ud, Ubai Bin Ka’ab, Abu Darda’, Zaid Bin Sabit. Dan puncak dari enam itu pada dua orang: Aly Bin Abi Tholib, Abdullah Bin Mas’ud.

Kedudukan dalam Tafsir

Ibnu Jarir at Thobari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia mengatakan. “ apabila kami belajar sepuluh ayat maka kami tidak akan pindah ke ayat yang lain kecuali setelah mengetahui arti dan mengamalkan petunjuknya". Atsar ini menjelaskan betapa besarnya Ihtimam perhatian Ibnu Mas’ud dalam memahami kitabullah.

Uqbah Bin Amir pernah berkomentar:
Saya tidak mengetahui yang paling Arif dan paham tentang Alquran dari Ibnu Mas’ud, Abu musa Al-asyari mengomentari lebih lanjut hal itu karena dia sering mendengar ayat-ayat, manakala kami tidak bisa mendengarnya, dia sering diizinkan masuk rumah Rosulullah tatkala kami tidak bisa masuk.

Riwayat Tafsir

Ibnu Mas’ud sahabat yang paling banyak meriwayatkan tafsir setelah Ibnu Abbas, as Suyuty dalam Itqon mengatakan: Inbu Mas’ud lebih banyak meriwayatkan dari Aly.

Di antara murid-murid Ibnu Mas’ud yang terkenal adalah Masru’ Ibnu Ajda’ alhamdani, Alqomah Inbu Qois Annakhoi’, Aswad Ibnu zaid.

Berikut riwayat yang masyhur dari Ibnu Mas’ud:
A. Dari A’masy, Abu dhoha, masruq, Ibnu Mas’ud, riwayat ini yang paling shoheh dan diriwayatkan bukhori dalam shohehnya.
B. Dari Mujahid, Abu Ma’mar, Ibnu Mas’ud, ini juga termasuk riwayat shoheh diriwayatkan bukhori dalam shohehnya.
C. Dari A’masy, Abu Wail, Ibnu Mas’ud, diiwayatkan bukhori dalam shohehnya.
D. Dari As suddy kabir, Murrah alhamdani, Ibnu Mas’ud, diriwayatkan Al hakim dalam Mustadrok.
E. Dari Abu Waroq, Dhohak, Ibnu Mas’ud, Ibnu jarir merwayatkan dalam tafsirnya, riwayat ini tidak benar karena dhohak tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud(Munqoti’)

3. ‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS

Beliau adalah anak paman (sepupu) Rasulullah SAW, lahir tiga tahun sebelum hijrah. Beliau hidup bersama Rasulullah SAW dan ‘nyantri’ karena ia adalah anak pamannya (sepupunya), sedangkan bibinya Maimunah di tanggung oleh Nabi SAW. Rasulullah pernah merengkuhnya ke dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarilah ia al-Hikmah.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “(Ajarilah ia) al-Kitab (al-Qur’an).”

Manaqib
Ketika mengajarinya berwudlu beliau SAW berdoa, “Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.” Berkat doa yang diberkahi ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’ nya Umat (lautan ilmu) di dalam menyebarkan tafsir dan fiqih. Allah menganugerahinya taufiq di dalam bergiat mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh di dalam menuntutnya serta bersabar di dalam menerimanya. Dengan begitu, ia meraih kedudukan yang tinggi sampai-sampai Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab RA mengundangnya ke majlis-majlisnya dan mengambil pendapatnya. Orang-orang Muhajirin berkata (kepada ‘Umar), “Tidakkah engkau undang anak-anak kami sebagaimana engkau undang Ibn ‘Abbas.?” Maka, ia menjawab, “Itulah pemuda yang menginjak dewasa, yang memiliki lisan yang banyak bertanya dan hati yang banyak akalnya.”

Pada suatu hari, ‘Umar mengundang mereka, lalu tak berapa lama menghadirkan Ibn ‘Abbas bersama mereka untuk memperlihatkan kepada mereka kebenaran langkahnya tersebut. ‘Umar berkata, “Apa pendapat kalian mengenai firman Allah, “Bila telah datang pertolongan Allah dan Penaklukan.” (surat an-Nahsr hingga selesai). Maka, sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya bila kita menang (dapat menaklukkan Mekkah).” Sebagian lagi hanya terdiam saja. Lalu, ‘Umar pun berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah kamu juga mengatakan demikian.?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ‘Umar bertanya, “Kalau begitu, apa yang akan kamu katakan.?” Ia menjawab, “Itu berkenaan dengan ajal Rasulullah SAW di mana Allah memberitahukan kepadanya bila telah datang pertolongan-Nya dan penaklukan kota Mekkah, maka itulah tanda ajalmu (Yakni Rasulullah-red.,), karena itu sucikanlah Dia dengan memuji Rabbmu dan minta ampunlah kepada-Nya karena Dia Maha Menerima taubat.” ‘Umar pun berkata, “Yang aku ketahui memang seperti yang engkau ketahui itu.” Ibn Mas’ud berkata, “Sebaik-baik Turjumaan al-Qur’an (penerjemah) adalah Ibn ‘Abbas. Andaikata ia seusia kami, niscaya tidak seorang pun dari kami yang menandinginya.” Padahal, Ibn ‘Abbas hidup setelahnya (Ibn Mas’ud) selama 36 tahun kemudian. Nah, bagaimana pendapat anda mengenai ilmu yang diraihnya setelah itu.?

‘Atha` berkata, “Aku tidak pernah melihat sekali pun ada suatu majlis yang lebih mulia dari majlis Ibn ‘Abbas dari sisi fiqih, demikian juga yang paling agung dari sisi wibawanya. Sesungguhnya para ahli fiqih berada di sisinya, para ahli Qur’an berada di sisinya dan para ahli sya’ir juga berada di sisinya. Ia menimbakan untuk mereka semua dari lembah yang luas.” (alias mengajarkan ilmu yang banyak-red.,)

Saat ia diangkat jadi Amir haji tersebut oleh khalifah ‘Utsman itu adalah tahun 35 H, lalu diangkat jadi penguasa di Bashrah oleh khalifah ‘Aly bin Abi Thalib namun tatkala ia (‘Aly) meninggal karena terbunuh, ia pulang ke Hijaz, bermukim di Mekkah kemudian keluar dari sana menuju Tha`if dan wafat di sana pada tahun 68 H dalam usia 71 tahun.

Kedudukan dalam Tafsir

Tergambar jelas kedudukan Ibnu Abbas dalam tafsir dari perkataan muridnya Mujahid: “
apabila ia menafsirkan ayat alquran saya melihat cahaya dari apa yang di tafsirkannya”.

Dalam moment lain Aly mengambarkan: “
Seakan dia melihat hal goib dari pengahalang (sitar) yang halus”

Ibnu Umar menggambarkan: “Ibnu Abbas adalah umat Muhammad yang paling tahu tentang yang di turunkan pada Muhammad” ini di karenakan sering di jadikan rujukan oleh para sahabat dan tabiin jika mereka mendapatkan masalah dalam memahami ayat.

Dalam riwayat lain Ibn ‘Umar pernah berkata kepada salah seorang yang bertanya mengenai suatu ayat kepadanya, “Berangkatlah menuju Ibn ‘Abbas lalu tanyakanlah kepadanya sebab ia adalah sisa shahabat yang masih hidup yang paling mengetahui wahyu yang diturunkn kepada Nabi SAW.”

Abu Wa`il berkata, “Saat Ibn ‘Abbas menjadi Amir haji atas perintah khalifah ‘Utsman, pernah ia berbicara kepada kami dengan membuka dengan surat an-Nur; membaca dan menafsirkannya. Selama ia begitu, aku pun bertutur pada diriku, ‘Aku tidak pernah melihat atau pun mendengar ucapan seseorang sepertinya. Andaikata didengar oleh orang-orang Persia, Romawi dan Turki (waktu sebelum Islam-red.,), pastilah mereka semua masuk Islam.”

Riwayat Tafsir

Ibnu Abbas memiliki riwayat tafsir yang banyak sehingga sering kita dapati dari setiap ayat dia memiliki pendapat dan tafsiran, berikut ini riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas RA:

A. Dari Muawiyah Bin sholeh, aly Bin Abi Tholha, Ibnu Abbas. Riwayat ini yang paling bagus, diriwayatkan Ibnu jarir, Ibn Abi Hatim, Ibnul Munzir, Bukhori, Muslim dalam shoheh mereka dan Ashab sunan lainnya.
B. Dari Qois Bin Muslim Al-kufy, A’tho’ Bin Saib, Said Ibnu Jabair, Ibnu Abbas, riwayat ini sesuai dengan syarat Syaikhaini.(Bukhori dan Muslim) diriwayatkan Hakim dalam Mustadrok.
C. Dari Ibnu Ishaq (sohib siroh), Muhammad Ibn Abi Muhammad maula Ali zaid bin Sabit, akrimah, Ibnu Abbas di riwayatkan Ibnu Jarir, Ibn Abi Hatim, Tabroni dalam Mu’jam.
D. Dari Ismail Bin Abdirrahman, Abi malik, Abu sholeh, Ibnu Abbas
E. Dari Abdul Malik Ibnu Juraij, Ibnu Abbas
F. Dari Dhohaak Ibnu Muzahim alhilaly, Ibnu Abbas. Riwayat ini Munqiti’.
G. Dari Atiyah Aluafi, Ibnu Abbas, riwayat ini tidak magus karena Atiyah Dhoif.
H. Dari Muqotil Ibnu Sulaiman alazdy,
I. Dari Muhammad ibnu Saib alkalby, Abu Soleh, Ibnu Abbas.

4. UBAI BIN KA’AB

Beliau adalah Ubai Bin Ka’ab Ibn Qois Al ansori Al khojrazi, memilki sapaan (kunyah) Abu munzir dan Abu Thufail. Serta Ikut perang badar, Umar mumujinya “ Ubai Sayyid Muslimin” terdapat khilaf tahun kematiannya, banyak dari pendapat itu bahwa beliau meniggal masa khilafah Umar Bin Khottab.

Manaqib

Beliau pembesar para Qurra’, salah satu penulis wahyu Rosulullah, hal ini dikuatkan bahwa Rosulullah pernah berkata: “ Yang paling baik bacaannya Ubai Bin Ka’ab”(RH Tarmizi dan Ibnu Majah)

Kedudukan dalam Tafsir

Ubai bin ka’ab termasuk sahabat yang paling paham kitabullah, diantara faktor yang menjadikan demikian adalah sebelum dia masuk Islam dia termasuk ulama yahud yang paham dan mengetahui rahasia dan isi buku-buku lama, dan karena dia salah satu penulis wahyu Rosulullah SAW hal ini mendorongnya lebih banyak mengetahui Asbabunnuzul, ayat pertama dan terakhir turun, Nasikh dan Mansukh.

Diantara murid-muridnya yang masyhur adalah Zaid Bin Aslam, Abul A’liyah Arrrayyahi, Muhammad Ibn Ka’ab Alqurzhi.

Riwayat tafsir

Berikut adalah riwayat dari Ubai Bin Ka’ab:
A. Dari Abu Ja’far ar Rozi, Ribi’ Ibnu Anas, Abul A’liyah, Ubai RA. Diriwayatkan Inbu Jarir, al Hakim, Imam Ahmad dalam Musnad.
B. Dari Waqi’ Ibnu Sofyan, Abdillah Muhammad Ibnu A’qil, Thufail Ibn Abai Bin ka’ab, Ubai Bin Ka’ab. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad.

CATATAN: * Hal ini karena ayahnya mati dalam ‘agama’ jahiliyyah sedangkan ibunya hidup dalam masa Islam dan memeluk agama Islam.
Penulis:Hidayatullah Ismail:(Mahasiswa pasca sarjana Magister S2 di Fakultas Ushuluddin Spesialisai Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Omdurman Islamic University of Sudan)
;

Tuesday, November 29, 2005

Ikatlah Ilmu Dengan Menulisnya

Oleh: Hidayatullah Ismail

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan! (Al Alaq: 1)Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis (Al Qalam: 1)

Ajaran Islam yang tersebar hingga ke penjuru dunia bermula dari negeri yang gersang, dan dikelilingi oleh gurun pasir yang panas. Sedangkan wahyu yang pertama kali turun adalah surat al-alaq ayat 1-5, yang berbunyi: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (Iqra bismirabbikalladzi khalaq). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (Khalaqal insana min alaq). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (Iqra wa rabbukal akram). Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (Alladzi allama bil qalam). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Allamal insana ma’lam ya’lam).

Pesan itu sangat jelas. Ia menyuruh kita untuk mau membaca apa yang ada di alam ini, sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Menciptakan. Kemudian, secara berturut-turut, selama 23 tahun, Al Quran turun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan seluruh isinya kepada para sahabatnya. Para sahabatnya pun membaca, menghapalkan, dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh.

Selain menghafalkan dan mempelajari Al Quran, mereka juga menghafalkan sabda-sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam , yang kemudian di kenal dengan istilah “hadits”. Di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq mulai ada usaha untuk membukukan Al Quran, berlanjut hingga masa khulafaur rasyidin sesudahnya. Dan finalnya “disahkan” pada zaman Khalifah Utsman bin Affan yang terkenal dengan sebutan mushaf utsmani. Mushaf utsmani itu disebarkan ke beberapa negara. Dan di beberapa negara itu mulai memperbanyak Al Quran berdasarkan mushaf utsmani. Penduduk yang beragama Islam mulai berlomba-lomba membaca, mempelajari, menghafalkan dan mengamalkannya. Seorang orientalis merasa kagum dengan kondisi ini, menurutnya buku yang paling banyak dibaca orang dari dulu hingga saat ini adalah Al Quranul Karim.

Setelah kaum muslimin berhasil menaklukan banyak negara, para sahabat beserta murid-muridnya tersebar di negara-negara itu; ada yang ke negeri syiria seperti Abu Darda dan Bilal, ada yang ke Persia seperti Ali, ada yang ke negeri Afrika seperti Amr bin Ash, bahkan ada yang sampai ke negeri Cina seperti Sa’ad bin Abi Waqash.

Hari demi hari berlalu. Dakwah Islam semakin gencar dilakukan. Masyarakat berduyun-duyun masuk ke dalam agama Islam. Namun, banyak sahabat Nabi yang telah wafat sedangkan pemeluk Islam semakin bertambah jumlahnya. Konsekuensi menjadi muslim sebagaimana sabda Nabi Saw adalah, diwajibkan untuk menuntut ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat. Perintah Al Quran dan Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seperti energi yang mengobarkan semangat kaum muslimin untuk senantiasa menuntut ilmu. Mereka berkelana ke berbagai penjuru negeri, bahkan ada yang rela berjalan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadits, sebagaimana yang terjadi pada seorang tabi’I masyhur bernama Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah.

Dari Al Quran dan Al Hadits berkembanglah ilmu-ilmu alat yang berupaya untuk memahami keduanya lebih utuh dan jelas, seperti: sejarah ( yang dalam Al Quran sering disebut Syajarah), Tafsir (sebagai alat bantu untuk memahami Al Quran), sastra (alat kelengkapan Al Quran untuk memahami istilah-istilah yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits), fiqh dan ushul fiqh (menyusun kembali perundang-undangan Islam (syariah) agar lebih tertib susunannya dan dapat dipergunakan untuk kemaslahatan manusia), tasawuf (yang banyak memuat inti dari ibadah dan akhlak dalam Islam), faraidh (semacam matematika untuk ilmu waris sebagaimana tertuang dalam Al Quran dan Al Hadits), dan sebagainya.

Kaum muslimin tidak hanya menerima kandungan Al Quran dan Al Hadits yang kaya makna, tetapi mereka juga mulai bersinggungan dengan karya-karya ilmu pengetahuan warisan dari ilmuwan-ilmuwan Yunani, Persia, dan India. Kaum Muslimin menganggapnya sebagai harta karun yang sangat bernilai harganya. Mereka merasa senang. Keingintahuan mereka pada sesuatu yang baru begitu besar. Penerjamahan besar-besaran pun terjadi. Laboratorium kimia pertama dalam sejarah hidup manusia didirikan oleh Jabir bin Hayyan (pada abad ke 8 M). Lembaga riset terbesar bernama Baitul Hikmah dibangun oleh Khalifah Abbasiyah, Al Makmun (pada abad ke 9 M). Hingga observatorium astronomi terkemuka (al maragha) didirikan juga.

Dari kenyataan ini, seorang filosof muslim asal Malaysia, Prof. Osman Bakar, dalam bukunya Tauhid and Sains, berkata: “Tak diragukan bahwa, secara relijius dan historis, asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber relijius semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama.”

Mereka pun Menuliskannya
Ibarat bendungan yang tidak kuat lagi menampung beban air, para Ilmuwan Islam yang sudah banyak memenuhi otaknya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, merasakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera menuliskan apa yang ada di otaknya itu. Boleh di bilang para ilmuwan itu telah mengalami apa yang disebut sebagai “ledakan informasi”. Saya sendiri mengamalkan apa yang dilakukan Ilmuwan Islam itu. Saya merasa waktu yang tepat untuk memulai menulis adalah ketika otak saya sudah dipenuhi dengan informasi dan ide-ide. Seorang ulama terkemuka, Imam Syaukani, pernah dinasihati gurunya untuk membiasakan diri menulis walaupun hanya dua baris dalam sehari. Nasihat itu ia jalankan. Dan kelak dikemudian hari Imam Syaukani menjadi ulama besar terkemuka yang menghasilkan kitab-kitab bermutu tinggi, diantaranya berjudul Nailul Authar yang berjilid-jilid tebalnyaKetika saya selesai membaca kitab Fadhail Amal karya Syaikh Maulana Muhammad Al Kandhalawi, pada bab Hikayat Para Sahabat, dengan sub bab: semangat di dalam mencari ilmu pengetahuan. Saya memperoleh gambaran yang jelas dan terang bahwa para ulama-ulama besar generasi awal senang dengan kegiatan membaca dan menulis. Sebagai contoh kita dapat melihatnya sebagai berikut: Imam Ibnul Jawzy, seorang ulama terkemuka, pernah berkata di hadapan jamaahnya: “Aku telah menulis 2000 jilid kitab dengan jari-jariku ini.” Yahya bin Mu’in, seorang ahli hadits terkemuka, pernah berkata: “Saya telah menulis 1.000.000 hadits dengan tanganku sendiri.” Ibnu Jarir Thabari, seorang ahli sejarah dan ahli tafsir terkemuka, membiasakan diri selama 40 tahun untuk menulis 40 lembar setiap hari. Setelah kematiannya, murid-muridnya menghitung apa yang ditulisnya setiap hari. Ternyata sejak beliau berusia baligh sampai meninggalnya, terhitung kurang lebih 14 lembar yang beliau tulis setiap hari.

Kitabnya mengenai sejarah manusia sangat terkenal dan dijadikan rujukan hingga berabad-abad lamanya. Ketika ia menunjukkan keinginannya untuk menulis kitab tersebut, ia bertanya kepada orang-orang: “Kalian tentu akan gembira dengan kitab mengenai sejarah seluruh alam ini.” Orang itu bertanya : “Berapa tebal buku itu? Ia berkata: “sekitar 30.000 lembar” orang-orang itu berkata: “umur kita akan habis sebelum bisa menyelesaikannya”. Ia berkata: “Innalillahi, semangat manusia telah menurun”. Setelah itu ia meringkasnya dan menulisnya dalam 3.000 lembar saja.

Subhanallah! Itulah contoh yang telah dilakukan generasi awal ulama-ulama kita. Mereka adalah mereka dan kita adalah kita. Tidakkah kita mengambil semangat yang menyala-nyala ini? Mereka telah menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai “makanan ruhani”, yang porsinya jauh lebih besar daripada makanan fisik yang hanya tiga kali sehari. Dengan banyak membaca, mereka menjadi insan tercerahkan dan pada akhirnya mendorong mereka untuk lebih banyak beramal. Dengan menulis, mereka mengikat ilmu yang sebelumnya mereka miliki dan pada akhirnya menambah ilmu dan wawasan mereka
Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).
;

Kajian isi kandungan Surat Al-kahfi

Oleh: Hidayatullah Ismail

Muqoddimah:

Surat Al-kahfi adalah termasuk surat Makkiah, turun setelah surat Al-ghosyiah, dalam urutan mushaf berada setalah surat Al-isro’, jumlah ayatnya 110 ayat.

Surat Al-kahfi dimulai dengan menerangkan sifat Alqur’an sebagai petunjuk dan peringatan bagi manusia, dan peringatan pula bagi mereka yang mengatakan bahwa Allah swt mempanyai anak, semua yang ada di permukaan bumi merupakan perhiasan bagi bumi, dan sengaja diciptakan Allah swt agar manusia memikirkan bagaimana cara mengambil mamfaat dari semuanya itu.

Surat ini mengandung empat kisah(qisos), kisah Ashabulkahfi, kisah seorang hamba yang memiliki dua taman/kebun, kisah Nabi musa as dengan Khaidir dan kisah Zulqarnain.

Mari kita coba menggali mutiara hikmah yang terdapat dalam surat ini, dengan pembahasan. Kenapa kita dianjurkan untuk membaca surat ini di hari jumat? Dan apa hubungan antara keempat kisah tersebut? Terakhir kenapa surat ini dinamakan surat Al-kahfi?

Keutamaan surat Al-kahfi:
Dalam sabdanya Nabi Muhammad saw mengatakan: “siapa yang membaca surat Al-kahfi di hari jumat, Allah akan memancarkan sinar dari telapak kakinya sampai setinggi langit”

Dalam hadist yang lain Nabi mengatakan: siapa yang membaca sepuluh terakhir dari surat Al-kahfi maka dia akan terjaga dari Dajjal.
Dalam riwayat lain, sepuluh awal dari surat Al-kahfi.

Maka apakah hubungan surat ini dengan Dajjal, dan apa pula hubungan antara keempat kisah surat ini? Mari kita lihat satu persatu..

Gua Rahmat.
kisah pertama yang terdapat dalam surat ini adalah kisah para pemuda sholeh, mereka beriman pada Allah Subhanahu Waa Ta’laa dengan keimanan yang tak lapuk kerana hujan dan tak lekang karena panas, mereka giat berdakwah di jalan Allah Subhanahu Waa Ta’laa meski kampung tempat mereka tinggal di pimpim oleh seorang raja yang zolim yang tidak beriman, mereka menyebarkan Islam pada masyarakat tapi mereka menolaknya. Sebagai mana firman Allah Subhanahu Waa Ta’laa, ayat (14-15):

Dan mereka tetap giat berdakwah di jalan Allah meski mereka dibohongi dan ditolak, kemudian Allah Subhanahu Waa Ta’laa mewahyukan pada mereka untuk pergi berlindung kadalam Gua, sebagai mana firman-Nya dalam ayat (16):” Dan apabila kamu meniggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ketempat gua itu niscaya tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmatnya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu”

Allah Subhanahu Waa Ta’laa memberikan pada mereka Mu’jizat yang besar dimana mereka tinggal didalam gua selama 309 tahun, pernyataan ini dalam ayat -25.”Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi”

Semua mu’jizat ini di berikan untuk menjaga para pemuda yang sholeh tadi, sehingga mereka bangun setelah 309 tahun, dan mereka dapatkan manusia telah beriman pada Allah Subhanahu Waa Ta’laa , mereka berada dalam lingkungan masyarakat baru yang beriman.

Keterpedayaan menusuk Keimanan.
Kisah kedua yang terdapat dalam surat ini adalah kisah seorang lelaki yang di berikan Allah atasnya nikmat, dia lupa akan nikmat tersebut, siapa yang memberi nikmat itu padanya, lalu dia kufur nikmat dan durhaka serta berani melanggar perintah Allah swt, dan mulai goyah keimannya serta ragu. Gambaran ini terdapat dalam firman-Nya ayat (32-35).” Dan dia memiliki kekayaan besar, maka ia berkata pada kawannya yang mukmin ketika ia bercakap dengannya.” Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” Dan ia memasuki kebunnya sedangka ia zalim terhadap dirinya sendiri ia berkata: aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.

Allah Subhanahu Waa Ta’laa telah megujinya dengan harta, maka dia lupa kembali dan berlindung pada Allah Subhanahu Waa Ta’laa , sebagai mana firman-Nya ayat (37-36). “ Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada tuhanku, pasti aku dapatkan tempat yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu. Lalu kawan mukminnya berkata padanya: apakakah kamu kafir tehadap Tuhan yang telah menciptakan kamu dari tanah, dan dari setetes air mani, lalu ia jadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna”.

Maka Akhir dari lelaki yang terpedaya oleh hartanya tadi adalah firman-Nya ayat (42).”Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak balikkan tangannya tanda menyesal terhadap apa yang ia belanjakan untuk itu, sementara pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku”

Bagaimana kita berinteraksi dengan Taqdir Allah Subhanahu Waa Ta’laa .
Sedangkan kisah yang ketiga yang terdapat dalam surat ini adalah kisah Nabi Musa as dengan khiadir, ketika musa ditanya oleh kaumnya. Siapakah penduduk bumi ini yang sangat alim(pintar)?, dia menjawab dialah yang paling Alim, karena dia menyangka dengan ilmu yang ia miliki dan salah satu ulil azmi dari rosul dialah penduduk bumi yang paling Alim. Maka Allah Subhanahu Waa Ta’laa mewahyukan padanya bahwa ada hamba Allah yang lebih Alim darinya, maka dia disuruh pergi ke suatu tempat di tempat pertemuan dua laut.ia melakukan pejalanan yang sangat jauh untuk sampai ketempat tujuan, dengan penuh kelelahan sehingga dia mengatakan, dalam firman-Nya Allah mengatakan: ayat(62)…
Mengalami kelelahan yang luar biasa, sehingga ia bertemu dengan lelaki sholeh yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki kebanyakan manusia adalah ilmu assiqoh dengan taqdir Allah Subhanahu Waa Ta’laa ,sesungguhnya dalam ketetapan Allah ada hikman yang harus kita yakini, dengan pengaturan-Nya dan kehendak-Nya segala urusan kehidupan.

Maka sebelum Nabi musa as menemaninya, Khaidir memberikan syarat padanya, agar tidak bertanya tentang sesuatu sehingga dia menceritakan padanya, maka Nabi Musa as menyetujui dengan mengatakan : Insaya Allah kamu akan mendapatkan aku orang yang sabar dan tidak menentangmu dalam suatu urusan..

Persahabatan mereka mengetengahi tiga masalah, secara zohir kelihatan jelek dan zolim:
Sampan yang ditenggelamkan Khaidir as, disebabkan adanya raja yang zolim yang mengambil setiap sampan yang baik menurut pandangannya.

Anak kecil yang dibunuh Khaidir as, disebabkan dia durhaka pada kedua orang tuanya yang soleh.
Dinding rumah yang hampir roboh kemudian, dirikan lagi tampa upah, di kota yang diusir oleh penduduknya, disebabkan dinding itu milik dua anak yatim dan di bawahnya ada harta yang terkubur milik mereka kalau dinding itu tidak didirikan maka harta mereka itu tidak akan terjaga.

Semua kejadian diatas tidak jelasnya hikmah Allah Subhanahu Waa Ta’laa bagi kita , karena secara zohir tidak ada alasan, maka itu seorang mukmin belajar bahwa Allah swt menetapkan sesuatu kita tidak mengetahui hikmahnya, kebaikan telah ditetapkan di dalamnya, dan inilah ilmu yang tidak kita ketahui yang di ajarkan Allah pada Khaidi.

Kemapanan di Bumi.
Kisah terakhir dalam surat ini adalah kisah Zulqarnain seorang raja yang adil menyebarkan kebenaran dan keadilan serta kebaikan dipermukaan bumi, ia memiliki segala sebab dari materi dan teknologi,yang memudahkan baginya untuk memiliki kekuasaan dan berhasil dalam kehidupan.sebagai mana firman Allah ayat (84)”sesungguhnya kami telah memberinya kekuasaan kepadanya dipermukaan bumi, dan kami telah memberikan padanya jalan untuk mencapai segala seuatu”….

Dia berkeliling dipermukaan bumi dari timur sampai barat menyebarkan hidayah bagi manusia, memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kebaikan, sehingga sampai pada suatu kaum hampir tidak bisa mengerti pembicaraan. firman Allah ayat(93) “ Hingga apabila ia sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati dihadapan kedua bukit itu suau kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan”

Meskipun Zulqornaini memiliki segala kemampauan tapi dia minta pada mereka untuk menolongnya sampai bisa mengajar mereka hal yang positif. Pernyataan ini dalam ayat (95).” Bantulah aku dengan kekuatan manusia dan alat-alat,agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka”.

Hubungan antara kisah diatas.
Perlu kita ingat bahwa Alquran tidak memaparkan kisah pada kita sia-sia, tetapi semuanya menjadi bangunan yang saling melengkapi, memberikan arti tertentu, maka apakah benang pengikat antara keempat kisah tersebut?

Sesungguhnya keempat kisah ini berbicara tentang ujian-ujian yang mendasar dalam kehidupan:
Ujian Agama : Seseorang diuji dalam agamanya baik itu berbentuk celaan dan siksaan,atau ancaman ketakutan. Inilah ujian Ashabulkahfi yang mana mereka selamat darinya.

Ujian Harta : itulah ujian seorang hamba yang memiliki dua kebun yang membuatnya terpedaya oleh hartanya sehingga dia mengingkari hari akherat. Dalam ayat 36 dinyatakan:
Ujian Ilmu : Dimana seorang hamba kagum terhadap dirinya, dia mengira tidak ada seorangpun melebihinya, lupa dengat sifat tawadu’.atau belajar ilmu yang tiada mamfaat bagi masyarakatnya ini juga bentuk dari ujian ilmu, atau dia mengunakan ilmunya untuk kemudoratan masyarakatnya. Fitnah ini terdapat dalam kisah Musa as dengan Khaidir, dimana musa mengira tidak ada yang lebih alim darinya, akan tetapi ketika dia mengetahui dia pergi menenpuh jarak yang jauh untuk belajar darinya, dan tawadu’ seperti tawadu’nya seorang pelajar pada gurunya.

Ujian Kekuasaan : Dimana seseorang diberi kebudayaan dan teknik yang canggih, kekuatan dan kekuasaan yang besar. Sehingga dia sombong dan kufur pada Tuhannya, serta zolim pada manusia. Tetapi kisah Zilqornaini memperlihatkan pada kita hal yang berlainan, dia seorang raja yang adil, adil pada manusia, mengembalikan kekutan hanya milik Allah swt semata, hal ini tergambar dalam firman-Nya ayat (87-88).

Motor penggerak benang ujian.
Di pertengahan surat antara dua cerita pertama dengan dua cerita terakhir terdapat sebagai motor penggerak benang-benang kempat ujian tersebut adalah musuh Allah dan musuh kita Iblis- la’natullah alaihi-. Hal ini tergambar dalam ayat (50).

Apa hubungan ujian Dajjal dengan ujian yang empat diatas tadi?
Dalam sebuah Hadist Nabi mengatakan: diantara ciptaan Adam as dan datangnya hari kiamat akan ada ujian yang terbesar yaitu ujian Masih Dajjal. Dan Dajjal akan datang membawa ujian yang empat tadi, dia akan menguji manusia dalam hal Agamanya, dia akan menyuruh mereka untuk menyembahnya, mengujinya dengan kemampuan yang luar biasa yang diberikan Allah pada mereka- seperti menghidupkan yang telah mati, semua akan terpedaya kecuali yang rahmati allah swt. Kemudian akan menguji manusia dengan harta, seperti dia akan suruh hujan turun dari lagit maka hujan pun turun, akan mengubah tanah yang gersang menjadi menjadi tanah yang subur dan hijau. Dia juga akan menguji manusi dengan ilmu, dia membuat manusia tercengang dengan berita yang dibawanya maka mereka memparcayainya, sedangkan ujian yang terakhir yang dibanya adalah uijan Kekuasaan, dia akan menguasai manusia dan mengeksploitasinya atas sebagian besar permukaan bumi ini kecuali Makkah dan Madinah.Ujian yang besar wajib dari setiap muslim kapan dan dimanapun ia berada agar waspada darinya.dengan membaca surat Al-kahfi ini dengan penuh tadabbur terhadap artinya, khususnya empat cerita yang dia atas.

Tujuan Surat: pelajaran yang berharga penjagaan dari Ujian.
Ketika surat ini memaparkan keempat cerita tersebut, maka diakhir dari setiap ceritanya ada mengandung palajaran, yang membimbing kita bagaiman menjaga diri kita dari sumua ujian tersebut, ini dari bentuk keindahan yang terdapat dalam Alquran, dimana dia tidak hanya memaparkan kisah secara sia-sia, tetapi untuk menentukan tujuan surat, dengan ini jelaslah bagi kita petunjuk-petunjuk surat yaitu selamat dari segal bentuk ujian, Maka Bagaimanakah cara selamat dari segala bentuk ujian dalam cerita ini?

Sampan penyelamat:
1.A.Berteman dengan orang soleh.
Ujian pertama adalah ujian agama, agar kita tetap kuat dan tetap konsisten dalam agama dan selamat dari ujian ini maka surat ini membimbing kita agar kita berteman dengan orang soleh, bersahabat dengan mereka dan sabar atas mereka, maka itu adalah sebaik, penolong bagi seorang dalam menjaga agamanya. Hal ini tergambar dalam firman Allah ayat (28)..

B. Ingat akherat,akan tempat kembali orang mukmin dan orang kafir. Dia adalah obat yang paling bermamfaat dari segala ujian yang di hadapi oleh manusia. Sebagai mana yang tegambar dalam ayat (29)..

2.A.Tidak tergantung pada dunia.
Agar kita terjaga dari ujian harta, sebagai mana yang terjadi dalam kisah ini, maka kita diminta memahami hakekat dunia ini, sebagi mana Allah telah gambarkah dalam Ayat(45)..
B. Ingat akherat, terutama kejadian yang akan terjadi di hari kiamat.sebagai mana dalam ayat (47-49)”Dan ingatlah akan hari kami perjalankan gunung-gunungdan kamu akan melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka” Dan mereka akan dibawa kehadapan Tuhanmu dalam keadaan berbaris, sesungguhnya kamu datang kepada kami sebagai mana kami ciptakan kamu pada kali yang pertama, bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu memenuhi perjanjian.” Dan diletakkan kita kamu akan melihat orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis didalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatatnya semua, dan mereka dapati apa yang mereka kerjakan tertulis.dan tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.”
3. Tawadu’.
Agar selamat dari ujian ilmu , harus berhias dengan perhiasan tawadu’ pada Allah telebih dahulu, kemudian pada guru, ini nampak dalam perkataan Musa kepada Khaidir, dalam firman Allah swt. Enkau akan mendapatkanku InsyaAllah termasuk oarng yang sabar dan tidak melanggar aturanmu, meskipun dia seorang nabi dan rosul ulul azmi,
4. Ihklas.
Ujian kekuasaan obatnya adalah ikhlas, dan tawadu’ pada Allah swt,segala karunia,nikmat dan kemapanan adalah milik Allah swt, Ini adalah rahmat dari tuhanku, diakhir surat ini terdapat peringatan agar tidak mensyirikkan Allah swt dan anjuran ikhlas dalam beramal.
Siapa yang ingin diterima Allah swt amalnya dengan sempurna dan di redoi di akherat, maka dia harus mewujudkan dua hal: 1.amalnya benar sesuai dengan sunnah Nabi,2 Iklas beramal karena Allah swt, dua syerat ini disebutkan diakhir surat Al-kahfi: Barang siapa yang ingin bertemu dengan tuhannya maka hendaklah ia beramal soleh dan tidak mensyirikan-Nya.

Gua Dakwah.
Tinggal pertanyaan terakhir kenapa dinamakan surat ini dengan surat Al-kahfi?
Dari penjelasan diatas bahwa Allah swt telah menetaptan sesuatu yang goib, yang tidak jelas oleh manusia hikmahnya, seperti tertidurnya para pemuda yang soleh itu dalam gua selama 309 tahun,ini agar manusia mengetahui dengan keterbatasannya terhadap hal-hal yang goib, hendaknya seorang muslim berserah diri pada Allah, tawakal padanya, sebagai mana tawakalnya para pemuda tersebut maka Allah akan menaburkan rahmat dan karunianya atas kita.Wallohu a’lam bissowab!!


Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).
;

Tauhid kewajiban pertama dan terakhir

Oleh : Hidayatullah Ismail

Imam Hafidz Bin Ahmad Al-Hakami mengatakan: "Kewajiban pertama atas hamba-Nya, mengenal Ar Rahman (Allah) dengan tauhid". (Maarijul qobul syarah sullamul usul 1/98). Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematian Abu Tholib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam datang menemuinya dan berkata, "Wahai paman, ucapkanlah 'laa ilaaha illallah', kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah..." (HR Bukhori Muslim dari Sa'id ibnul Musayyab dari bapaknya, Musayyab).

Perkataan Al-Hakami ini merupakan perkataan yang sangat indah. Perkataan yang menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah Subhaanahu Wa Ta'la. Dengan tauhid maka akan menimbulkan keyakinan di hati seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan sungguh-sungguh, dia tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang disekitarnya yang akan melencengkan dia dari jalan yang lurus, dia bagaikan karang di dasar lautan tak terusik di landa badai, tetap istiqomah dan kokoh dalam situasi dan kondisi apapun, tak lapuk kerena hujan dan tak lekang karena panas begitulah pepatah mengatakan. Sikap yang terpuji ini merupakan hasil yang didapat dari pondasi yang kuat atau tauhid yang mantap.

Akan tetapi sungguh telah banyak manusia melupakannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang mengatakan, “Untuk memajukan umat ini kita harus memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa”.

Subhanallah !!! Tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang ditokohkan, berbicara di atas panggung, tema-tema yang senang mereka gaungkan, biasanya “Teknologi Islam”, “Ekonomi Islam”, dan mengenyampingkan permasalahan tauhid.

Jika ada yang mengambil tema “Tauhid yang benar”, “Aqidah yang lurus”, “Keutamaan Tauhid”, maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan zaman, padahal untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan kekokohan pondasi yaitu kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.

Dan bagaimana pula bangsa kita akan bangkit jika tidak memiliki standar dan tolak ukur yang kuat, jernih, bersih, serta lurus dan dapat digunakan umat dalam memecahkan seluruh soal kehidupannya?
Berbagai jenis pemahaman dan aliran keagamaan seperti, kapitalisme, komunisme, atheisme, pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya didukung oleh sarana dan kekuatan dalam bidang materi yang luar biasa tengah menghantam dan membanjiri negeri-negeri kaum muslimin, lalu merusak aqidah dan kehidupan umat ini dengan dahsyat.

Kehadirannya menyebarkan virus-virus kesesatan, kekufuran, kebencian, dan pertikaian di tengah-tengah umat. Tidak cukup dengan itu, serangan berbahaya lain juga tengah diluncurkan oleh kaum orientalis yang didukung oleh anak asuhnya yang berasal dari putra-putri kaum muslimin sendiri. Mereka bersatu padu membingungkan dan meragukan umat dengan berbagai lontaran-lontaran ide dan pendapatnya dalam perkara-perkara aqidah. Dengan cara halus mereka merendahkan dan mencampuradukkan konsep-konsep Islam dengan konsep kufur. Sehingga tidak asing, jika kita mendengar seperti, "semua agama sama, semua menuju pada kebaikan", "ketertinggalan Al-quran dengan kehidupan masa kini", "ketidakmampuan syariat Islam dalam memecahkan problematika kehidupan manusia", dan istilah-istilah lain yang membingungkan umat.

Agar kita tergolong generasi yang pernah dilahirkan oleh Islam seperti para pendahulu (salafuna sholih), Islam harus dipahami sebagaimana mereka (para salaf) memahami Islam, yaitu sebagai suatu bentuk sistem kehidupan yang sempurna, yang mengatur seluruh urusan manusia. Aqidahlah sebagai dasar berdirinya sistem itu, dan juga sebagai landasan dibangunnya peradaban yang tangguh sekaligus sebagai sumber atau pangkal munculnya seluruh jenis peraturan, undang-undang serta norma kebiasaan di tengah kehidupan manusia.

Aqidah harus dijadikan tolak ukur bagi seorang muslim di mana saja ia berada, kapanpun ia hidup, dan persoalan apapun yang dihadapinya. Hanya aqidah Islam yang mampu memecahkannya dengan cara sempurna, memuaskan akal, serta menenteramkan hati dan jiwa. Aqidah inilah yang ditunggu-tunggu oleh umat pada saat ini.

Lalu, akankah kita menolak, begitu jelas hujjah (alasan) bagi kita sebagai seorang Muslim? Akankah kita tetap seperti ini (dalam bingkai sistem yang tidak mengacu pada aqidah), sementara kita memiliki aqidah yang lurus, sederhana dan tangguh, serta memiliki sistem yang benar dan sempurna?.

Mereka para ahli tauhid yang murni, bersih dari syirik, Allah telah menjanjikan atas mereka kemenangan, keamanan, dan khilafah. Seperti dalam firman-Nya: “Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih di antara kalian untuk menjadikan mereka pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu kalian sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan menetapkan agama yang diridhoi-Nya untuk mereka, dan sungguh Allah akan menggantikan rasa takut menjadi rasa aman bagi mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku dan tidak berbuat syirik. Dan barangsiapa yang kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (An-Nur : 55)

Apakah kaum muslimin telah benar-benar memperhatikan syarat yang agung ini: "... menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku"? Inilah yang mesti diketahui dan ditegakkan oleh orang-orang yang berakal.

Tatkala sekelompok kaum mu'minin dari para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam keluar menuju perang Hunain, sebagian mereka baru masuk Islam. Ketika sampai di sebuah pohon yang disebut Dzaatu Anwaath, mereka melihat kaum musyrikin menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon itu dalam rangka meminta berkah. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath seperti halnya mereka." Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjawab, "Allahu Akbar!", dalam riwayat lain, "Subhanallah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan seperti perkataan kaum Musa: "buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." (QS Al A'raaf: 138) (HR Ahmad).

Data sejarah telah membuktikan, bagaimana kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang gemilang atas kaum Tartar setelah mereka memperbaiki aqidahnya dan membuktikan tauhidnya kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala, Sebaliknya, kaum Tartar mengalami kekalahan dengan kekalahan yang tak pernah mereka alami sebelumnya.

"Ketika pembuktian tauhid yang benar kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan menolong Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari didatangkannya saksi-saksi." Ini menunjukkan bahwa pertolongan dan kemenangan di muka bumi tidak akan dapat diraih kecuali setelah menancapkan agama yang benar di dalam jiwa. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kamu. Sesungguhnya jika kamu mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik." (QS Al Maidah: 12).

Sungguh para Rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu Tauhid ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah.

Perjalanan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ini menunjukkan betapa besarnya perkara tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, “Dan perkara yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang paling besar adalah Syirik yang artinya beribadah kepada Allah tetapi disertai juga beribadah kepada selain-Nya.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin).

Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam kitab-Nya :“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa : 36).

Ibnul Qayyim pun berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya, maka wajib bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya bangunan itu ditentukan oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan cermin dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya.

Tentu seorang yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang jahil akan berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh.” (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany).

Oleh karena itu, tauhid yang kokoh, landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS Adz Dzariyaat: 56). Ibnu Katsir berkata: makna "ya'buduun" dalam ayat ini adalah "yuwahhiduun" (mentauhidkan Allah). Imam Al Baghowi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas RA mengatakan: "Setiap perintah beribadah dalam Al Qur'an maka maknanya adalah tauhid."
Bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang hakiki dan kemenangan, sedangkan Allah meridhoi ahli tauhid. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridhoi kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian." (HR Muslim dari Abu Hurairoh).

Tauhid fitroh manusia.
Sesungguhnya tauhid sudah tertanam pada jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu syaithon yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Group syaithon baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah. Firman Allah dalam kitab-Nya. "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithon-syaithon (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan yang indah-indah untuk menipu manusia" (Al-An'aam:112)

Tauhid merupakan fitroh manusia sejak lahir bahkan sejak mereka dalam alam benih, Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). Atau agar kamu tidak mengatakan; 'Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dulu'." (Al-A'raf: 172-173).

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "... Allah Subhanahu wa ta’ala telah menunjukkkan bahwa fitrah yang dimiliki oleh manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengesakan-Nya." ( Tafsir Ibnu Katsir 9/173 )
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam "setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR.Al-Bukhori)

Perjanjian yang bersifat fitrah tadi, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan manusia sebagai saksi atas perjanjian yang diambil-Nya dari mereka. berkenaan dengan perjanjian yang pertama tadi, Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (Ar-Ruum: 30).

Imam At Thobari mengatakan dalam tafsirnya: "Manusia diciptakan Allah dilahirkan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid, dinamakn fitroh itu din (agama) karena manusia diciptakan untuk menyembahnya. Dan Az Zajjaj mengatakan. "Ikutilah fitroh Allah itu.(tafsir At Thobari 21/407).

Dengan demikian, orang yang menemukan perjanjian ini dan dia tetap pada fitrahnya, mengakui sesuatu yang telah ditetapkan pada perjanjian yang pertama, maka dia akan menerima perjanjian tersebut sejak awal dan tidak akan berhenti, karena hal itu akan sesuai dengan sesuatu yang ada dalam fitrahnya dan sesuatu yang telah Allah ciptakan baginya. Sehingga, dengan hal tersebut keyakinannya akan semakin bertambah dan keimanannya akan semakin kuat tanpa melalui proses pertimbangan yang seksama dan keraguan.

Fenomena kemusyrikan.
Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah Subhanahu wa ta`ala berfirman: "Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan." (Al-Baqoroh: 213)

Kemusyrikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman: "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya." (An-Nisaa`: 163).

Dalam perspektif ajaran Islam, kemusyrikan termasuk kategori paling besar dosanya. Bahkan, jika terbawa mati, Allah Subhaanahu Wa Ta'ala tidak akan mengampuninya. Firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa yang selainnya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.'' (An-Nisaa' 48).

Selanjutnya generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan kepada syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki.

Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kemusyrikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari syirik. As-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata: "Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit". (Qurrotul-`Uyuun hal. 24)

Di samping bentuk kemusyrikan meyakini adanya kekuatan yang menyamai Allah (Andad), baik dalam bentuk benda-benda seperti benda-benda keramat, batu-batuan yang disembah dan yang dijadikan jimat-jimat, kepercayaan kepada tahayul dan sihir-sihir dalam berbagai bentuknya yang sangat berbahaya, terdapat juga bentuk kemusyrikan yang lain yang mulai marak di tengang-tengah masyarakat muslim seperti yang dikemukan oleh surat Ar -Ruum.Ayat 31-32 yaitu: berpecah belah dalam beragama sehingga menjadi berbagai macam kelompok yang saling menghujat, menghina, dan menyalahkan, disertai kesombongan yang luar biasa, menganggap golongannya sendiri yang paling benar tanpa bercermin dengan kaca syariat, dan menganut berbagai kepercayaan dan aliran (isme) menurut hawa nafsu mereka.

Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang pertama dan terakhir yang paling wajib ditunaikan oleh manusia, dan kita mohon kepada Allah agar menjadikan kalimat tauhid sebagai akhir kehidupan kita. Amiin ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu A”lamu Bishshawab.

Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).
;