EL-HIDAYAH: The Column of Personal Activity

This blog [el-hidayah] contains my works. And this is my column of personal activity. Thank you blogger.com

My Photo
Name:

Hidayatullah Ismail, born on monday, 27 Muharrom 1400 H was awarded a Lc degree in faculty of ushuluddin from Islamic University of Madinah Munawwaroh, Saudi Arabiah in 2004. Before leaving home for Saudi Arabiah in 1998, I was completed my Senior Secondary School at Pondok Pesantren Dar El-Hikmah in 1998, Pekanbaru and my Junior High School in 1995. and my Elementary School at SDN No.027 Gema in 1992. The last still in Kecamatan kampar kiri hulu, my homevillage in the Province of Riau. On 10 July 1998, I Joined entry test to get schoolarship for studying at Islamic University in Madinah Nabawiah, Sauadi Arabiah, which is hold at Islamic Boording school, Gontor. In 1999, I was passed the test for getting schoolarship at Islamic University of Madinah, at the time we were 30 persons. My agenda launched and released below is dedicated to my beloved one who wants to know more about myself personally. Here, everyone are welcoming to visit all the corners of my personal blog at www.el-hidayah.blogspot.com. And then have a nice journey for reading my personal activity … … …

Tuesday, November 29, 2005

Tauhid kewajiban pertama dan terakhir

Oleh : Hidayatullah Ismail

Imam Hafidz Bin Ahmad Al-Hakami mengatakan: "Kewajiban pertama atas hamba-Nya, mengenal Ar Rahman (Allah) dengan tauhid". (Maarijul qobul syarah sullamul usul 1/98). Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematian Abu Tholib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam datang menemuinya dan berkata, "Wahai paman, ucapkanlah 'laa ilaaha illallah', kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah..." (HR Bukhori Muslim dari Sa'id ibnul Musayyab dari bapaknya, Musayyab).

Perkataan Al-Hakami ini merupakan perkataan yang sangat indah. Perkataan yang menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah Subhaanahu Wa Ta'la. Dengan tauhid maka akan menimbulkan keyakinan di hati seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan sungguh-sungguh, dia tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang disekitarnya yang akan melencengkan dia dari jalan yang lurus, dia bagaikan karang di dasar lautan tak terusik di landa badai, tetap istiqomah dan kokoh dalam situasi dan kondisi apapun, tak lapuk kerena hujan dan tak lekang karena panas begitulah pepatah mengatakan. Sikap yang terpuji ini merupakan hasil yang didapat dari pondasi yang kuat atau tauhid yang mantap.

Akan tetapi sungguh telah banyak manusia melupakannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang mengatakan, “Untuk memajukan umat ini kita harus memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa”.

Subhanallah !!! Tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang ditokohkan, berbicara di atas panggung, tema-tema yang senang mereka gaungkan, biasanya “Teknologi Islam”, “Ekonomi Islam”, dan mengenyampingkan permasalahan tauhid.

Jika ada yang mengambil tema “Tauhid yang benar”, “Aqidah yang lurus”, “Keutamaan Tauhid”, maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan zaman, padahal untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan kekokohan pondasi yaitu kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.

Dan bagaimana pula bangsa kita akan bangkit jika tidak memiliki standar dan tolak ukur yang kuat, jernih, bersih, serta lurus dan dapat digunakan umat dalam memecahkan seluruh soal kehidupannya?
Berbagai jenis pemahaman dan aliran keagamaan seperti, kapitalisme, komunisme, atheisme, pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya didukung oleh sarana dan kekuatan dalam bidang materi yang luar biasa tengah menghantam dan membanjiri negeri-negeri kaum muslimin, lalu merusak aqidah dan kehidupan umat ini dengan dahsyat.

Kehadirannya menyebarkan virus-virus kesesatan, kekufuran, kebencian, dan pertikaian di tengah-tengah umat. Tidak cukup dengan itu, serangan berbahaya lain juga tengah diluncurkan oleh kaum orientalis yang didukung oleh anak asuhnya yang berasal dari putra-putri kaum muslimin sendiri. Mereka bersatu padu membingungkan dan meragukan umat dengan berbagai lontaran-lontaran ide dan pendapatnya dalam perkara-perkara aqidah. Dengan cara halus mereka merendahkan dan mencampuradukkan konsep-konsep Islam dengan konsep kufur. Sehingga tidak asing, jika kita mendengar seperti, "semua agama sama, semua menuju pada kebaikan", "ketertinggalan Al-quran dengan kehidupan masa kini", "ketidakmampuan syariat Islam dalam memecahkan problematika kehidupan manusia", dan istilah-istilah lain yang membingungkan umat.

Agar kita tergolong generasi yang pernah dilahirkan oleh Islam seperti para pendahulu (salafuna sholih), Islam harus dipahami sebagaimana mereka (para salaf) memahami Islam, yaitu sebagai suatu bentuk sistem kehidupan yang sempurna, yang mengatur seluruh urusan manusia. Aqidahlah sebagai dasar berdirinya sistem itu, dan juga sebagai landasan dibangunnya peradaban yang tangguh sekaligus sebagai sumber atau pangkal munculnya seluruh jenis peraturan, undang-undang serta norma kebiasaan di tengah kehidupan manusia.

Aqidah harus dijadikan tolak ukur bagi seorang muslim di mana saja ia berada, kapanpun ia hidup, dan persoalan apapun yang dihadapinya. Hanya aqidah Islam yang mampu memecahkannya dengan cara sempurna, memuaskan akal, serta menenteramkan hati dan jiwa. Aqidah inilah yang ditunggu-tunggu oleh umat pada saat ini.

Lalu, akankah kita menolak, begitu jelas hujjah (alasan) bagi kita sebagai seorang Muslim? Akankah kita tetap seperti ini (dalam bingkai sistem yang tidak mengacu pada aqidah), sementara kita memiliki aqidah yang lurus, sederhana dan tangguh, serta memiliki sistem yang benar dan sempurna?.

Mereka para ahli tauhid yang murni, bersih dari syirik, Allah telah menjanjikan atas mereka kemenangan, keamanan, dan khilafah. Seperti dalam firman-Nya: “Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih di antara kalian untuk menjadikan mereka pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu kalian sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan menetapkan agama yang diridhoi-Nya untuk mereka, dan sungguh Allah akan menggantikan rasa takut menjadi rasa aman bagi mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku dan tidak berbuat syirik. Dan barangsiapa yang kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (An-Nur : 55)

Apakah kaum muslimin telah benar-benar memperhatikan syarat yang agung ini: "... menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku"? Inilah yang mesti diketahui dan ditegakkan oleh orang-orang yang berakal.

Tatkala sekelompok kaum mu'minin dari para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam keluar menuju perang Hunain, sebagian mereka baru masuk Islam. Ketika sampai di sebuah pohon yang disebut Dzaatu Anwaath, mereka melihat kaum musyrikin menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon itu dalam rangka meminta berkah. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath seperti halnya mereka." Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjawab, "Allahu Akbar!", dalam riwayat lain, "Subhanallah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan seperti perkataan kaum Musa: "buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." (QS Al A'raaf: 138) (HR Ahmad).

Data sejarah telah membuktikan, bagaimana kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang gemilang atas kaum Tartar setelah mereka memperbaiki aqidahnya dan membuktikan tauhidnya kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala, Sebaliknya, kaum Tartar mengalami kekalahan dengan kekalahan yang tak pernah mereka alami sebelumnya.

"Ketika pembuktian tauhid yang benar kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan menolong Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari didatangkannya saksi-saksi." Ini menunjukkan bahwa pertolongan dan kemenangan di muka bumi tidak akan dapat diraih kecuali setelah menancapkan agama yang benar di dalam jiwa. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kamu. Sesungguhnya jika kamu mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik." (QS Al Maidah: 12).

Sungguh para Rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu Tauhid ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah.

Perjalanan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ini menunjukkan betapa besarnya perkara tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, “Dan perkara yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang paling besar adalah Syirik yang artinya beribadah kepada Allah tetapi disertai juga beribadah kepada selain-Nya.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin).

Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam kitab-Nya :“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa : 36).

Ibnul Qayyim pun berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya, maka wajib bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya bangunan itu ditentukan oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan cermin dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya.

Tentu seorang yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang jahil akan berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh.” (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany).

Oleh karena itu, tauhid yang kokoh, landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS Adz Dzariyaat: 56). Ibnu Katsir berkata: makna "ya'buduun" dalam ayat ini adalah "yuwahhiduun" (mentauhidkan Allah). Imam Al Baghowi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas RA mengatakan: "Setiap perintah beribadah dalam Al Qur'an maka maknanya adalah tauhid."
Bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang hakiki dan kemenangan, sedangkan Allah meridhoi ahli tauhid. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridhoi kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian." (HR Muslim dari Abu Hurairoh).

Tauhid fitroh manusia.
Sesungguhnya tauhid sudah tertanam pada jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu syaithon yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Group syaithon baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah. Firman Allah dalam kitab-Nya. "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithon-syaithon (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan yang indah-indah untuk menipu manusia" (Al-An'aam:112)

Tauhid merupakan fitroh manusia sejak lahir bahkan sejak mereka dalam alam benih, Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). Atau agar kamu tidak mengatakan; 'Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dulu'." (Al-A'raf: 172-173).

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "... Allah Subhanahu wa ta’ala telah menunjukkkan bahwa fitrah yang dimiliki oleh manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengesakan-Nya." ( Tafsir Ibnu Katsir 9/173 )
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam "setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR.Al-Bukhori)

Perjanjian yang bersifat fitrah tadi, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan manusia sebagai saksi atas perjanjian yang diambil-Nya dari mereka. berkenaan dengan perjanjian yang pertama tadi, Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (Ar-Ruum: 30).

Imam At Thobari mengatakan dalam tafsirnya: "Manusia diciptakan Allah dilahirkan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid, dinamakn fitroh itu din (agama) karena manusia diciptakan untuk menyembahnya. Dan Az Zajjaj mengatakan. "Ikutilah fitroh Allah itu.(tafsir At Thobari 21/407).

Dengan demikian, orang yang menemukan perjanjian ini dan dia tetap pada fitrahnya, mengakui sesuatu yang telah ditetapkan pada perjanjian yang pertama, maka dia akan menerima perjanjian tersebut sejak awal dan tidak akan berhenti, karena hal itu akan sesuai dengan sesuatu yang ada dalam fitrahnya dan sesuatu yang telah Allah ciptakan baginya. Sehingga, dengan hal tersebut keyakinannya akan semakin bertambah dan keimanannya akan semakin kuat tanpa melalui proses pertimbangan yang seksama dan keraguan.

Fenomena kemusyrikan.
Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah Subhanahu wa ta`ala berfirman: "Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan." (Al-Baqoroh: 213)

Kemusyrikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman: "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya." (An-Nisaa`: 163).

Dalam perspektif ajaran Islam, kemusyrikan termasuk kategori paling besar dosanya. Bahkan, jika terbawa mati, Allah Subhaanahu Wa Ta'ala tidak akan mengampuninya. Firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa yang selainnya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.'' (An-Nisaa' 48).

Selanjutnya generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan kepada syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki.

Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kemusyrikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari syirik. As-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata: "Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit". (Qurrotul-`Uyuun hal. 24)

Di samping bentuk kemusyrikan meyakini adanya kekuatan yang menyamai Allah (Andad), baik dalam bentuk benda-benda seperti benda-benda keramat, batu-batuan yang disembah dan yang dijadikan jimat-jimat, kepercayaan kepada tahayul dan sihir-sihir dalam berbagai bentuknya yang sangat berbahaya, terdapat juga bentuk kemusyrikan yang lain yang mulai marak di tengang-tengah masyarakat muslim seperti yang dikemukan oleh surat Ar -Ruum.Ayat 31-32 yaitu: berpecah belah dalam beragama sehingga menjadi berbagai macam kelompok yang saling menghujat, menghina, dan menyalahkan, disertai kesombongan yang luar biasa, menganggap golongannya sendiri yang paling benar tanpa bercermin dengan kaca syariat, dan menganut berbagai kepercayaan dan aliran (isme) menurut hawa nafsu mereka.

Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang pertama dan terakhir yang paling wajib ditunaikan oleh manusia, dan kita mohon kepada Allah agar menjadikan kalimat tauhid sebagai akhir kehidupan kita. Amiin ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu A”lamu Bishshawab.

Penulis : Hidayatullah Ismail, (Mahasiswa program magister (S2) Fakultas usuluddin spesialisasi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Omdurman Islamic University, Sudan ).
;

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

bagus..............bagus............bagus.

7:55 PM  

Post a Comment

<< Home